Kamis, 28 Juli 2016

Sri Mulyani & Tugas Menjaga Anggaran Negara



Foto/Setkab.go.id
Perombakan menteri Kabinet Kerja akhirnya kembali dilakukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Rabu (27/7/2016). Ini merupakan perombakan kedua setelah yang pertama dilakukan pada 12 Agustus 2015.

Di bagian lain blog ini (Baca: Mengejar Tax Amnesty) saya sempat menduga Presiden Jokowi baru akan merombak kabinetnya paling cepat pada akhir September 2016 bertepatan dengan periode pertama program pengampunan pajak berakhir.

Bagaimana pun, saat program pengampunan pajak berjalan, aliran modal asing kian kencang membanjiri pasar, indeks harga saham gabungan menanjak tinggi, satu yang dibutuhkan adalah menjaga kepercayaan pelaku pasar ini.

Akan tetapi, seperti biasanya langkah-langkah Presiden Jokowi yang tak mudah diterka, melakukan perombakan kabinet di saat optimisme pasar meninggi. Menteri-menteri di bidang ekonomi dirombak. Rupanya, orang yang dipilih pun tetap mampu membawa sentimen positif bagi pasar. Perombakan yang membawa euforia baru di pasar modal.

Saat pengumuman kabinet berlangsung pada Rabu siang, IHSG sempat menyentuh level 5.300, level tertinggi sepanjang tahun ini meski pada sesi perdagangan akhirnya ditutup di level 5.274,36 atau naik 0,96% dibandingkan sehari sebelumnya.

Nilai beli bersih (net buy) investor asing pada perdagangan Rabu tercatat Rp617,5 miliar. Sepanjang tahun ini, net buy asing sudah mencapai Rp22,75 triliun.

Selain sentimen regional yang mempengaruhi pasar, masuknya sosok Sri Mulyani Indrawati yang kembali duduk sebagai Menteri Keuangan menciptakan keyakinan baru.

Sri Mulyani yang pernah menjabat sebagai menkeu di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikenal cakap dan disiplin mengelola anggaran negara.

Ketegasan Sri Mulyani dalam mengelola anggaran serta tak mau didikte oleh kepentingan politik inilah yang membuat peran Sri Mulyani di kabinet Jokowi-JK menjadi penentu.

Bagaimana pun harus disadari, Presiden Jokowi saat ini tentu merasakan betapa hebatnya tekanan mengelola negara. Jika tekanan itu dari lingkup ekonomi, barangkali masih bisa diatasi.

Namun, tekanan politik, keterlibatan parlemen dalam menyusun anggaran negara, kepentingan ekonomi setiap partai politik (parpol), ini butuh keahlian tersendiri dalam mengatasi. Dan, pilihan Presiden Jokowi memilih Sri Mulyani, rasanya dalam kapasitas itu.

Presiden Jokowi memberi ruang bagi masuknya parpol pendukungnya ke dalam Kabinet Kerja. Dengan demikian, dukungan terhadap pemerintah di parlemen saat ini menjadi dominan. Catat, Jokowi-JK saat ini didukung oleh PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, Golkar, dan PAN.

Sedangkan di kubu oposisi, tersisa Gerindra dan PKS. Sedangkan Partai Demokrat sejak awal memilih di jalur tengah.

Artinya, dengan komposisi itu, kekuatan suara dan kursi di parlemen dalam setiap pembahasan kebijakan dan anggaran negara, bisa berjalan lebih mulus.

Masuknya Golkar—partai ‘tua’ dan paling piawai dalam berpolitik termasuk memainkan strategi anggaran— sebagai pendukung pemerintah, memang harus diterima dengan lapang dada.

Meski terkesan hanya satu kader Golkar di Kabinet Kerja lewat Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, sejatinya banyak alumni Golkar yang bercokol di kabinet.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Kemaritiman Luhut B. Panjaitan, merupakan tokoh senior Golkar. Menkopolhukam Wiranto pernah menjadi calon presiden yang diusung Golkar di Pilpres 2004, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita merupakan Wakil Bendahara di Golkar sebelum menyeberang ke Nasdem.

Presiden juga memberi kesempatan kader PAN masuk ke kabinet, setelah dukungan partai itu ke pemerintahan, selain tetap mempertahankan komposisi lain dari PDIP, PPP, PKB, dan Hanura.

Dengan semakin banyak menteri berlatar belakang parpol di kabinet, Presiden Jokowi menyadari betul bahwa pembangunan harus tetap berjalan. Pembahasan anggaran melalui parlemen harus dijaga agar tak sekadar dijadikan sebagai komoditas untuk memenuhi syahwat politik dan kepentingan kelompok tertentu.

Memilih Sri Mulyani di posisi menkeu, adalah cara Presiden Jokowi menjaga keseimbangan itu. Jokowi berkompromi dengan memberi kesempatan parpol yang haus kekuasaan masuk kabinet, namun di satu sisi menjaga anggaran negara tetap berada di jalur belanja yang benar.

Fokus pemerintah membangun infrastruktur butuh dana tak sedikit. Kemampuan anggaran yang terbatas, harus dimaklumi untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bukan memenuhi kantong-kantong parpol dan kelompok tertentu.

Inilah yang ditugaskan Jokowi kepada Sri Mulyani. 'Melawan' kepentingan parpol dan kelompok tertentu dalam memainkan anggaran negara.

Tidak ada komentar: