![]() |
foto/wirabisnis.com |
Seorang kawan yang berkecimpung di bisnis properti bercerita
bahwa penjualan tahun ini seret. Minat pemilik modal terhadap pembelian unit apartemen
tak lagi sekuat tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, tak ada lagi cerita seorang
pemodal membeli lebih dari 10 unit apartemen baru.
Kalau pun ada investor yang mencari untung dari bisnis properti,
jumlah pembelian tak seperti sebelum-sebelumnya. Beli lima unit apartemen yang
baru dirilis itu pun sudah cukup bagus.
Melambatnya penjualan properti terkonfirmasi dari survei
harga properti primer yang dirilis Bank Indonesia. Sepanjang kuartal I/2016,
penjualan properti tumbuh 1,51%. Meski tumbuh, angka itu di bawah periode yang
sama 2015 yang tercatat sebesar 26,62%.
Penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan
apartemen (KPA) oleh perbankan sepanjang kuartal I/2016 mencapai Rp342,16
triliun, tumbuh 7,66% dari periode yang sama 2015 yang nilainya mencapai
Rp317,8 triliun.
Pertumbuhan itu lebih lambat dibandingkan kuartal I/2015 dibandingkan
dengan kuartal I/2014 yang tumbuh hingga 12,55%.
Gambaran itu menunjukkan bahwa permintaan properti oleh
masyarakat memang melemah. Mengapa?
Dari survei tererkam faktor utama yang menghambat
pertumbuhan bisnis properti adalah suku bunga KPR (19,40%), lalu masalah
besaran uang muka rumah (17,09%), kenaikkan harga bahan bangunan (15,79%),
serta perizinan dan pajak (15,85%).
Sejalan dengan upaya pemerintah membatasi tingkat suku bunga
simpanan dan memberikan subsidi untuk bunga kredit usaha mikro kecil menengah
kepada bank pelat merah, muaranya diharapkan mampu menekan suku bunga kredit
semua sektor usaha, termasuk di antaranya properti.
Mengenai kebijakan uang muka, BI sudah melempar rencana
untuk melakukan relaksasi terhadap loan to value (LTV) pembiayaan perumahan
yang diharapkan bisa dirilis Agustus mendatang.(Baca: Relaksasi LTV Properti)
Dalam Surat Edaran No. 15/40/DKMP pada 24 September 2013,
fasilitas kredit untuk rumah pertama ditetapkan 70% atau diartikan uang muka
sebesar 30%. Sementara itu, fasilitas kredit rumah kedua LTV maksimum
ditetapkan 60%, keduanya untuk tipe rumah di atas 70 meter persegi. Fasilitas kredit rumah ketiga, keempat, dst. berlaku
kelipatannya.
Dengan rencana relaksasi fasilita kredit rumah kedua dst.
diharapkan mampu mendongkrak penjualan properti.
Selain didorong melalui revisi kebijakan, program
pengampunan pajak (tax amnesty) juga berpotensi kembali menggairahkan bisnis properti.
Konon, banyak pemilik modal yang saat ini memilih menunggu implementasi
pengampunan pajak.
Dana-dana yang tersimpan ‘di bawah bantal’ siap dibelanjakan
saat program pengampunan pajak bergulir. Tetapi, satu yang menjadi pesan,
jangan sampai tingginya peminat yang berinvestasi di sektor properti membuat
harganya tak masuk akal.
Pemerintah dan pengembang harus bisa memastikan bahwa harga properti
terjangkau dengan harga realistis. Supaya kelompok masyarakat lainnya juga bisa
menikmati hasil dari relaksasi kebijakan properti dan program tax amnesty.
Karena janji memberi dampak ekonomi bagi seluruh masyarakat
itulah yang dinanti, bukan kesejahteraan bagi segelintir pemilik modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar