Minggu, 26 Juli 2009

Bromo, Kaki Langit Nan Eksotis

Tirai pagi belum sepenuhnya terbuka, kabut yang menyelimut pekat, rapat menutup panorama kawah di kaki Gunung Bromo Jawa Timur.

Meski dingin datang menghajar, kekuatan hati untuk menyaksikan keindahan alam Gunung Bromo memang tak akan pernah menyurutkan niat, terlebih langkah kaki.

Matrikulasi simetris yang biasa dilahirkan Gunung Bromo, Batok dan Semeru merupakan jajaran kosmologi alam yang cukup menawan, indah dan menggetarkan seluruh kalbu.

Kawasan wisata Gunung Bromo yang berlokasi di Dusun Ngadisari Kabupaten Probolinggo, boleh jadi menjadi satu tempat wisata alam yang paling menawan di Tanah Air atau bahkan hingga menyentuh bibir mancanegara.

Saat pagi menjemput dari kawasan sekitar penanjakan, 30 menit perjalanan dari Ngadisari, kita dapat menyaksikan terbitnya mentari, lengkap dengan hiasan semburat warna kaki langit yang menemani.

Rona biru langit, sedikit terselip warna orange dengan selimut kabut yang membingkai, menjadi sebuah sumber inspirasi kedamaian jiwa.

Udara dingin yang membungkus kulit terabaikan, saat penggemar fotografi berkumpul mengadu shutter ditengah golden moment.

Seperti yang saya rasakan dengan rekan-rekan Komunitas Fotografer Semarang (KFS), ketika untuk kali kedua menyambangi lokasi itu, setelah sebelumnya dilakukan pada Agustus 2007.

Bersama 24 orang pecinta fotografi, sedikit demi sedikit kami mengabadikan keindahan Bromo.

"Dari sudut manapun Bromo memang tetap mempesona," ujar salah seorang kawan.

Harus diakui, Bromo adalah magnet pariwisata paling besar bagi Pemerintah Kabupaten Probolinggo.

Bukan hanya itu, Bromo adalah sumber penghidupan bagi warga Tengger, warga asli di sekitar lereng gunung itu.

Ramainya kunjungan wisata ke Gunung Bromo, mengubah sedikit aktivitas masyarakatnya yang bergantung dari sektor pertanian, beralih ke layanan jasa wisata. Ada yang mulai menyewakan rumah tinggal (homestay) atau bisnis menyewakan jeep hingga kuda tumpangan.

Itulah romantisme alam khas Bromo, terkadang saat tenggelam dalam larut pagi itu, kita akan merasa betapa kecilnya manusia dihadapan Sang Khalik.

Jagat raya nan megah, merupakan buah tangan kuasa Tuhan yang terkadang tak bisa diterima oleh logika.

Bagi siapa pun, dari kalangan mana pun, Gunung Bromo adalah sumber inspirasi, baik inspirasi batin dan logika bagi siapapun yang ingin menyaksikan kebesarannya.

Dan sampai kapanpun, Bromo akan membawa nuansa kekaguman dan keindahan itu.

naskah dan foto by : Stefanus Arief Setiaji
Sebuah catatan pada 30 Juli 2009





Selasa, 17 Februari 2009

Selamat Datang di Liga Polda Jateng

Partai Persis Solo kontra Gresik United yang berkesudahan imbang 1-1 pekan lalu, bisa jadi akan dikenang sebagai pertandingan sepakbola teraneh di jagat sepakbola dalam negeri. Pertandingan ini sendiri cukup mendapat perhatian, karena disaksikan langsung oleh Kapolda Jateng Alex Bambang Riatmodjo.

Kali pertama dalam sejarah sepakbola Indonesia, dua orang pemain yang terlibat perkelahian dilapangan langsung ditangkap polisi. Bahkan, dua pemain itu kini ditahan di Poltabes Surakarta.

Awalnya pertandingan itu berjalan biasa saja, seperti halnya sepakbola dalam negeri yang cukup membosankan. Tetapi, saat jatuh pada menit ke-62, beberapa pemain saling berkejaran dilapangan, beberapa diantaranya melepas bogem mentah.

Wasit sempat menghentikan pertandingan, beberapa aparat bersiaga dari pinggir lapangan. Namun, tiba-tiba saja Kaploda Jateng turun ke lapangan dan meminta anak buahnya menangkap dua pemain yang terlibat baku hantam dilapangan.

Upaya penangkapan sempat gagal, karena dihalangi beberapa offisal dari kedua kesebelasan. Pertandingan itu sempat dilanjutkan.

Usai peluit panjang, Kapolda memerintahkan kedua pemain yakni Nova Zaenal (Persis Solo) dan Bernard Mamodon (GU) ditangkap.

Kapolda beringsut, penangkapan itu sesuai prosedur karena kedua pemain memancing suasana tidak kondusif. Melalui proses pemeriksaan, dua pemain itu pun resmi ditahan.

Inilah potret muram sepakbola dalam negeri yang selalu bermimpi menjadi sebuah industri. Dalam sebuah pertandingan, terlebih sepakbola, semua aturan sudah digariskan secara jelas.

Struktur organisasi sepak bola Indonesia, PSSI-pun memiliki lembaga yang harus menyelesaikan dan mengkaji perosalan itu.

Induk PSSI memiliki sayap cabang bernama Komisi Disiplin, semestinya mereka yang lebih berhak melakukan pemeriksaan.

Terlebih lagi, sebelum pertandingan dimulai, sambutan Kaploda Jateng yang disampaikan di arena sudah melanggar ketentuan profesionalitas sepakbola. Dalam hal ini, kapolda justru menciderai etika profesinalitas olah raga.

Faktor keamanan memang ranah kepolisian, tetapi arena pertandingan adala ranah Badan Liga Indonesia (BLI).

Maaf, pertandingan Persis vs Gresik United bukan pertandingan tarkam yang memperbutkan piala Kapolda. Ini liga bung, semua sudah ada mekanisme. Tidak bisa dikaitkan unsur politis dan lainnya dalam tirani olahraga.

Kalau kejadian itu dianggap penganiyaan, bagaimana dengan olah raga tinju..?? Apakah kasus meninggalnya beberapa petinju di ring, diusut pihak kepolisian...?? tentu tidak.

Olahraga, tetap olahraga...penganiyaan menjadi beda konteks kalau diluar arena olahraga.

Lepas dari permasalahan itu semua, panitia pertandingan pun kurang tegas. Kehadiran Kapolda Jateng diantara penonton, semestinya tetap diberlakukan sejajar.

Meski pejabat, bukan berarti waktu khusus yang sengaja didesain atau diminta diberikan kepada beliau, meski isi yang disampaikannya pun tak jauh dari upaya menciptakan pertandingan olah raga yang aman.

Sepakbola adalah olahraga, pemain sepakbola bukan pelaku kriminalitas selama itu terjadi di arena pertandingan.

Memahami konteks hukum di negeri ini memang runyam dan semoga tidak semakin runyam.

Sabtu, 10 Januari 2009

Sang Gerbong, Kawan yang Menjadi Tambatan Hidup

Lengking peluit petugas perjalanan kereta api (PPK), membelah kesunyian di Stasiun Solo Jebres. Laju kereta Prambanan Ekspres (Prameks) jurusan Solo-Yogyakarta merangkak pelan.

Kian lama, deru mesinnya samar terbawa angin. Pemandangan di atas rel hanya menyisakan rangkaian gerbong Solo Bengawan yang tengah disolek oleh beberapa petugas kebersihan yang setiap hari bertugas di stasiun itu.

Amat Subekti, tak begitu tinggi perawakannya dan cenderung kurus, memegang sebuah gagang pel dan tengah berusaha menjangkau bagian badan gerbong kereta Senja Bengawan yang agak tinggi.

Sesekali tangannya meraih selang panjang yang sudah tersambung dengan kran air, lalu menyemprotkan ke badan kereta itu.

Aktivitas itu setiap hari dilakukannya. Bersama dengan tujuh orang rekannya yang lain, pekerjaan sebagai tukang kebersihan kereta api telah dijalaninya selama empat tahun terakhir ini.

Lajang tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Solo tersebut, mengaku sangat menikmati pekerjaannya itu. Meski panas menyengat, muncul kesan semangat dari wajahnya saat membersihkan sedikitnya delapan gerbong dari rangkaian kereta Senja Bengawan yang kala itu menjadi kawan sepermainannya.

"Setiap hari paling tidak ada tiga rangkaian kereta yang harus dibersihkan," ujarnya saat saya menghampiri dirinya.

Menurut dia, upah yang didapatkan untuk sekali membersihkan satu rangkaian kereta, berkisar Rp25.000-Rp30.000 per hari.

Dia merinci, "Satu rangkaian kereta upahnya Rp5.000, sedangkan untuk ngobat satu gerbong Rp2.500," terangnya.

Istilah ngobat, seperti yang dikatakannya berarti membersihkan dinding kiri-kanan kereta. Ada beberapa istilah lainnya, seperti ngatap itu berarti membersihkan kotoran di bagian atas kereta.


Berangkat dari ajakan kawannya, Amat- begitu biasa ia disapa, harus memilih untuk menjalani pekerjaan itu ditengah sulitnya mencari peluang kerja di negeri ini, terlebih dengan status ijasahnya yang hanya tamatan SMP.

Setiap hari, sejak pukul 05.30 Wib, dia sudah harus bersiaga di dipo stasiun, menanti rangkaian kereta Argo Lawu yang menanti dibersihkan.

Jika tugas di rangkaian Argo Lawu usai, mulai pukul 08.30 Wib, rangkaian kereta Senja Benagawan sudah menantinya.

Tidak hanya itu, rangkaian kereta lainnya yang terparkir di dipo Stasiun Solo Jebres, sering menanti kegesitan tangannya untuk dibersihkan.

Satu hal yang kadang membuatnya gembira, saat musim Lebaran tiba, biasanya dia mendapatkan upah lebih serta diberi bingkisan dari pihak stasiun maupun manajemen yang menaungi dia bekerja.


Potret aktivitas nyata Amat Subekti, hanyalah sepenggal rentetan cerita dari kisah orang-orang yang memiliki jasa, tapi sering dipandang sebelah mata.

Saat kita menikmati perjalanan kereta dengan layanan kebersihan yang ditawarkan, sosok Amat Subekti-lah mungkin yang berada dibalik kenyamanan itu.

Jam sudah menunjukan pukul 19.00 Wib, saatnya bagi Amat Subekti beranjak pulang, setelah satu rangkaian kereta Dwipangga usai dibersihkannya.

Esok pagi, dia harus kembali menepi. Berkawan dengan selang air, kain pel lalu menari diatas rel diiringi alunan musik yang berasal dari deru kereta api.