Selasa, 18 November 2008

Di Balik Bumi Sukolilo, Masihkah Ada Secercah Harapan ?

Rencana investasi senilai lebih dari Rp3,5 triliun PT Semen Gresik, Tbk melalui pendirian pabrik semen di Kabupaten Pati, hingga saat ini boleh dibilang belum berjalan mulus.

Proyek fantastis yang diproyeksikan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kabupaten seluas 150.368 hektare itu, masih meninggalkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Bagi mereka yang mendukung pembangunan pabrik semen yang rencananya akan memilih lokasi lahan di Desa Kedumulyo Kecamatan Sukolilo itu, investasi SG merupakan kabar baik sebagai salah satu solusi mengatasi permasalahan sosial, khususnya masalah pengangguran di wilayah itu.

Namun, bagi mereka yang menancapkan bendera penolakan, berapa pun nilai investasi yang siap digelontorkan, hanya akan melahirkan kesengsaraan, karena hilangnya lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat setempat.

Masalah pro dan kontra satu pembangunan di tengah bergulirnya iklim kebebasan di republik ini adalah hal biasa. Dan, hal itu selalu diagung-agungkan sebagai bagian dari terbentuknya nilai demokrasi.

Namun melihat fakta yang terungkap di lapangan, sangat wajar jika penolakan pembangunan pabrik semen itu bertahan hingga sekarang ini.

Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pati tahun 2007, Kecamatan Sukolilo merupakan daerah yang memiliki areal pertanian terluas di Bumi Mina Tani itu.

Tingkat produksi padi di daerah tersebut mencapai 77.477 ton berupa gabah kering giling (GKG) dengan luas panen 13.336 Ha dari 14.497 Ha luas lahan areal persawahan di wilayah itu.

Sedangkan untuk produksi jagung, produksinya tercatat berjumlah 41.554 ton produksi pipilan kering (PPK), dengan luas panen 6.503 Ha dari total luas tanam 7.662 Ha.

Dua komoditi itu selam ini tingkat produksi terbesarnya disumbangkan dari Sukolilo dan satu lagi Kecamatan Kayen, yang juga masuk dalam peta terdampak pembangunan pabrik.

Melihat data tersebut, mustahil jika Kecamatan Sukolilo ditetapkan sebagai daerah tandus dan kering oleh Pemkab setempat.

Asisten II Bidang Keuangan dan Pembangunan Pemkab Pati Desmon Hastiono saat dikonfirmasi mengenai hal ini mengatakan, Kecamatan Sukolilo yang masuk dalam wilayah Pati selatan merupakan daerah kering yang lebih pas dikembangkan sebagai areal pertambangan.

Selain itu, dia menuturkan sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati, Sukolilo ditetapkan sebagai daerah pertambangan. Meski, rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang RTRW itu belum disahkan.

Jauh di Kota Semarang, sempat tersiar kabar jika analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, hanya mengacu pada data-data sekunder tanpa melihat fakta serta keasrian di lapangan.

Selain itu, Amdal yang disusun Undip tersebut telah berjalan selama satu tahun terakhir. Ini sangat bertolak belakang dengan pengumuman sosialisasi Amdal yang dipasang dan dibaca oleh ribuan warga di Sukolilo, sejak 8 Oktober 2008.

Sosialisasi Amdal itu menyebutkan, masyarakat yang keberatan dan akan memberikan tanggapan terkait pembangunan pabrik semen itu, boleh memberikan masukan paling lambat 30 hari sejak pengumaman itu dipasang atau terakhir diterima pada 8 November 2008.

Dengan kata lain, kalau proses amdalnya sudah berjalan selama satu tahun, berguna buat apakah sosialisasi yang kelewat telat tersebut dipajang mesra di kantor kecamatan.

Toh, seharusnya masyarakat jangan diajari untuk mengungkapkan satu kebohongan publik. dan, pola ini sepertinya yang ingin dimainkan oleh pengambil kebijakan.


Sedhulur Sikep

Salah satu yang menjadi korban dari rencana pembangunan pabrik semen ini adalah masyarakat adat setempat yang lebih dikenal dengan komunitas sedhulur sikep atau masyarakat Samin.

Seorang warga sedhulur sikep mengaku, jauh sebelum isu pembangunan pabrik semen ini berhembus, warga di sekitar wilayah itu hidupnya tenteram.

"Setelah isu pabrik semen ini, warga hidupnya tidak tenang lagi," ungkapnya.

Dari hasil penelusuran, komunitas itu pun saat ini sudah terbelah. Antara yang mendukung dengan yang menolak rencana pendirian pabrik.

Terpecahnya komunitas sedhulur sikep ini, mungkin tidak pernah terbayangkan dalam kurun waktu lima tahun sebelumnya.

Kini, dalam satu kawasan Desa Batureja dengan jarak rumah antara satu pemangku adat dengan pemangku adat lainnya hanya terpisahkan kurang dari 500 meter, aroma perpecahan itu sudah tercium.

Dan inilah, salah satu kehilangan terbesar dari sebuah budaya kapitalisme. Runtuhnya nilai sosial dan hubungan dalam masyarakat.

Kini, semuanya tinggal menunggu waktu.