Jumat, 31 Agustus 2012

Anak Indonesia, Presiden Bongsor, dan Walikota Cungkring

Seremonial peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2012, sedikit beda dari tahun-tahun sebelumnya, meski dari sisi urutan acara masih terkesan itu-itu saja. Faktor pembedanya, pertama puncak pesta anak nasional ini dilakukan pada 29 Agustus 2012.

Jadwal kegiatan ini mundur satu bulan dari peringatan HAN yang jatuh setiap 23 Juli. Alasan padatnya kegiatan Tuanku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi alasan dibalik molornya kegiatan tahunan tersebut.

Kedua tentu yang marak diperbincangkan publik akhir-akhir ini. Presiden SBY sempat mengingatkan sejumlah anak yang tertidur agar bangun, mendengar isi pidatonya saat tengah menyampaikan sambutan. 

Publik lantas meretas ingatan terhadap kebiasaan presiden memberi teguran kepada audiens, ketika dirinya tengah memaparkan persoalan yang menurutnya maha penting.

Lebih dari dua kali, sang presiden pendiri Partai Demokrat ini memberi teguran audiens yang tertidur, antara lain saat menyampaikan pidato peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Juni lalu dan pengarahan di Sekolah Calon Perwira (Secapa) Angkatan Darat di Bandung.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Membatasi Rokok (tidak) Berarti Mematikan Petani Tembakau ?


Gerakan masyarakat sipil maupun negara untuk mengendalikan konsumsi rokok, kerap kali dituding tidak nasionalis karena ditunggangi berbagai kepentingan asing.

Paling populer tentu isu penerimaan dana asing untuk membiayai kegiatann advokasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Selain itu, persoalan yang muncul di permukaan selalu menyebut gerakan mengendalikan rokok berpotensi mematikan industri rokok nasional, termasuk ‘membunuh’ nasib jutaan petani tembakau yang menggantungkan mata pencahariannya dari bisnis tersebut.

Paragraf pembuka  di atas merupakan beberapa hal yang dicermati dan menjadi  titik tolak dalam sebuah diskusi ‘Nasionalisme Pengendalian Tembakau’ yang digelar oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Diantara peserta diskusi yang kebanyakan adalah pelajar dan mahasiswa, menyoroti dua hal, nasib pekerja di industri rokok dan keberlangsungan hidup petani tembakau. Meski tak banyak mengundang perdebatan, soal kelangsungan pekerja dan petani memang kerap dijadikan strategi bagi industri rokok.

Bahkan, ada yang menyebut mengatasnamakan petani tembakau dan nasib ribuan buruh industri rokok merupakan alasan standard perusahaan rokok di seluruh dunia.

Meski demikian, harus diakui pula industri rokok di Indonesia paling jor-joran dalam urusan duit. Ibaratnya, uang yang mereka belanjakan untuk pemasaran maupun berbagai kegiatan tanggung jawab sosial tak berseri jumlahnya.

Mulai dari dana untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, dukungan kegiatan seni dan budaya, sponsor olahraga, maupun kegiatan sosial lainnya, hampir semuanya berlabel nama besar industri rokok nasional.

Sebagai gambaran saja, pada 2010 industri rokok di Indonesia menyumbang tak kurang dari Rp66 triliun ke kas negara melalui cukai rokok. Jumlah pekerja di industri ini pun, hampir mendekati angka 1 juta orang di tahun yang sama.

Namun, Komnas Pengendalian Tembakau mencoba melawan data tersebut dengan meyajikan data bahwa dampak konsumsi rokok sangat membahayakan kesehatan masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut tak kurang dari 85 juta masyarakat Indonesia merupakan perokok aktif. Jumlah ini menempati peringkat ketiga dunia, setelah China dan India.

Selain itu, diperkirakan masih ada 95 juta perokok pasif yang berpotensi terserang penyakit tak kalah bahaya sebagai dampak dari asap rokok.

“Upaya mendorong terwujudnya regulasi pengendalian rokok terutama bagi perlindungan anak, remaja, dan generasi tua. Kalau bicara nasionalisme, justru spirit ini yang harus dilihat sebagai bagian dari rasa nasionalis,” ujarnya.

Data Komnas Pengendalian Tembakau menyebut jumlah perokok usia muda dengan rentang usia 10—14 tahun meningkat tajam hingga 6 kali lipat dalam kurun waktu 12 tahun.
Jumlah perokok di usia tersebut pada 1995 sebanyak 71.126 anak, meningkat menjadi 426.214 anak pada 2007.

“Usia anak mulai merokok paling tinggi rentang 15—19 tahun. Semakin bertambah usia, aktivitas merokok semakin berkurang karena sadar dengan kesehatannya,” kata Fuad Baradja  dari Komnas Pengendalian Tembakau.

Upaya mengendalikan rokok dalam konteks regulasi harus dipisahkan dengan nasib para petani tembakau dan ribuan buruh rokok lainnya.

Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohamad berpendapat dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) Pengendalian Tembakau yang masih dalam tahap finalisasi, tidak disebutkan adanya larangan bagi petani menanam tembakau.

“Tidak ada satu pun negara yang petani tembakuanya ambruk atau mati setelah negara itu menerbitkan aturan pembatasan rokok,” katanya.

Menurut Kartono pemahaman seperti inilah yang perlu disampaikan kepada petani, sehingga mereka tidak mudah termakan isu yang dihembuskan industri rokok.

Petani perlu dibekali pengetahuan bahwa tembakau bukan hanya sebagai bahan baku utama rokok, melainkan dapat dipakai untuk menunjang industri kesehatan, misalnya sebagai protein antikanker, obat diabetes & antibodi, maupun obat luka.

Bahkan, peneliti dari laboratorium bioteknologi Universitas Thomas Jefferson menyebut tembakau dapat dioptimalkan sebagai bahan bakar biofuel yang lebih efisien dibandingkan dengan tanaman pertanian lainnya.

Petani tembakau di dalam negeri setiap tahun sedikitnya menghasilkan produk tembakau sebanyak 180.000 ton, masih lebih kecil dari tingkat kebutuhan yang mencapai 250.000 ton. Namun, itu semua masih diserap industri rokok, belum menyentuh bisnis lainnya.

Pertanyaannya, adakah upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman tembakau ini di luar bisnis ‘asap’ rokok ?

Tulisan ini dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi Jumat 24 Agustus 2012

Kamis, 16 Agustus 2012

Indonesia di 'Gang Senggol' Venice Biennale 2013

Koridor Arsenale (2011)

Venezia, kota di salah satu sudut Italia merupakan pusat tujuan wisata turis dunia. Kota yang terletak di tepi laut Adriatik ini punya julukan khas, The Queen of The Adriatic. Tak sekedar termasyur dengan wisata airnya, Venezia memiliki sejumlah bangunan megah berusia ratusan tahun.

Bangunan-banguna tua tersebut merupakan simbol peradaban masa lalu yang masih terawat, bahkan kerap digunakan untuk menggelar event rutin berskala internasional. Salah satu pesta akbar yang digelar setiap 2 tahun sekali di sekitar Venezia adalah pameran seni kontemporer Venice Biennale.

Venice Biennale tercatat sebagai salah satu ajang mempertemukan ide dan hasil kreasi seni kontemporer dari berbagai belahan dunia paling megah dan paling tua dalam sejarah penyelenggaraannya. Pameran ini pertama kali digelar pada 1895.

Jika dalam dunia olahraga, Venice Bienalle sering disebut sebagai ajang olimpiade para seniman dunia. Disinilah mereka seniman instalasi, pemahat, pelukis, dan seniman video bertemu dalam satu ajang.

Seniman dari berbagai penjuru dunia ini mempertontonkan karya artistiknya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan publik terhadap seni kontemporer.

Sekedar untuk memberi gambaran, Venice Biennale ke-54 yang berlangsung pada 2011 diikuti oleh 89 negara dan dikunjungi hampir 450.000 orang termasuk jurnalis dari berbagai belahan dunia. Jumlah pengunjung itu naik hampir 11% dibandingkan dengan penyelenggaraan 2009.

Selama 6 bulan penuh, para pecinta seni kontemporer dimanjakan dengan berbagai karya simbol peradaban manusia saat ini.

“Waktu berkunjung ke sana, saya begitu takjub melihat majunya seni kontemporer. Saya bisa lihat negara-negara seperti Arab Saudi, India, Bangladesh, mereka punya paviliun dan karya yang luar biasa. Di situ saya berpikir, kok kita nggak ada,” ujar Restu Imansari Kusumaningrum, Direktur Bumi Purnati Indonesia.

Bumi Purnati merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang seni pertunjukan, pameran, konsultasi seni, dan produser pameran berskala nasional maupun internasional.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Restu menuturkan dirinya mencoba menggagas hadirnya paviliun nasional Indonesia di ajang Venice Biennale ke-55 pada 2013. Berbagai upaya komunikasi dijalin dengan pihak penyelenggara agar Indonesia hadir di ajang tersebut.

Upaya yang akhirnya berbuah manis, ketika Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah Venice Biennale akan memiliki paviliun resmi yang mengusung seni kontemporer di ajang kelas internasional.

“Syaratnya memang berat, kami harus bolak-balik ke Venezia untuk mengajukan diri agar Venice Bienalle tahun depan ada paviliun Indonesia. Akhirnya diterima, kami lebih terkejut  karena Indonesia akan punya tempat seluas 500 meter persegi di Arsenale,” jelasnya.

Kesempatan berada di koridor Arsenale juga terasa spesial. Arsenale merupakan satu dari dua area pameran utama di Venice Biennale yang tahun depan berlangsung mulai Juni—November.

Ibarat pasar malam, Arsenale dapat diasosiasikan sebagai ‘gang senggol’ yang bakal dikerubuti pecinta seni. Lokasi yang barang tentu diidam-idamkan peserta maupun kolektor seni. Hampir semua karya seni pilihan dari berbagai belahan dunia akan dipamerkan di paviliun Arsenale ini.

Pemerhati seni Carla Bianpoen berpendapat Indonesia sangat beruntung bisa berada di paviliun Arsenale, satu lokasi paling strategis dalam pameran Venice Biennale.

Salah satu yang menarik dari pameran Venice Bienalle ini, katanya hampir seluruh kolektor seni dari berbagai penjuru dunia hadir ke tempat ini. “Tahun lalu, miliuner Rusia Roman Abramovich menyempatkan hadir di sini,” jelasnya.

Roman Abramovich merupakan pengusaha minyak asal Rusia yang juga pemilik klub kenamaan Inggris, Chelsea.

Bumi Purnati Indonesia juga telah mengumumkan 5 seniman Indonesia yang akan mewakili Indonesia dalam Venice Biennale 2013. Mereka antara lain, Alberth Yonathan Setiawan, Sri Astari, Eko Nugroho, Entang Wiharso, dan Titarubi.

Rifky Efendi yang bertanggung jawab sebagai kurator menilai kehadiran Indonesia di paviliun utama tentu harus dibarengi dengan karya seni yang bermutu dari setiap artis yang terlibat.

“Bagaimana kita bisa menjadi beda dari lainnya, karena kita ada di ruang bergengsi,” paparnya ketika menjelaskan hasil pilihan terhadap seniman yang ikut serta dalam pameran tersebut.

Pilihan tentu tak bisa lepas dari unsur subyektifitas. Tapi, terlepas dari  itu kontingen Indonesia yang akan hadir di Venezia menampilkan seniman multigenerasi, kombinasi antara seniman senior dengan seniman muda berbakat.

Tulisan ini dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi 11 Agustus 2012

Selasa, 07 Agustus 2012

Asal Bisa Digergaji, Jadilah Mebel


Masrohan, bapak setengah lusin anak oleh kalangan rekan-rekannya dinilai seorang yang ulet dan tahan banting. Perajin mebel asal Dusun Cangkring Batealit Kabupaten Jepara Jawa Tengah ini kebal dalam segala cuaca.

Sejak 1982, Masrohan menekuni usaha mebel. Saat bisnis mebel mengalami kejayaan, dia juga sempat merasakan manisnya. Meski hanya kepanjangan tangan dari sejumlah eksportir mebel di beberapa daerah sekitar Jepara dan Semarang, setidaknya mebel buatannya mampu merambah pasar luar negeri.

Seiring dengan krisis ekonomi berturut yang menimpa Indonesia (1998), Amerika Serikat (2008), dan disusul Eropa (2011), ditambah regulasi pemanfaatan kayu yang kian ketat, serta sulitnya memperoleh bahan baku kayu berkualitas, kemampuan Masrohan bertahan dengan usaha yang ditekuninya hingga saat ini merupakan sebuah anugerah.

“Kalau pengalaman sudah banyak saya. Pernah kena tipu, mebel yang saya kirim tidak di bayar. Mau gimana lagi, lha wong orangnya juga tidak dibayar dari pembelinya,” ujarnya dalam Bahasa Indonesia bercampur aksen Jawa.

Kerugian yang dialaminya mencapai puluhan juta rupiah. Dia memilih tidak menuntut atau melaporkan kepada pihak berwajib mengenai penipuan yang dialaminya. “Kalau saya lapor polisi, malah bisa keluar uang lebih banyak. Nggak cucuk [imbang.red] dengan kerugiannya,” jelasnya.

Kini, Masrohan tak banyak bermain untuk pasar eskpor. Dia memilih membuat produk untuk memenuhi pasar dalam negeri. Kebanyakan hasil produknya dikirim ke Yogyakarta, Kendal, Semarang, Boyolali, dan sejumlah wilayah di Jawa Tengah.

Produk buatannya seperti meja, kursi, tempat tidur, lemari, dan produk mebel kebutuhan rumah tangga lainnya. Bahan baku kayu yang didapatkan, tak lagi mengandalkan kayu jenis pohon Jati maupun pohon Mahoni.

“Sekarang kayu sembarang. Asal bisa digraji [gergaji] dan dibentuk jadi meja kursi ya saya beli,” katanya. Bahkan, kayu dari pohon Mangga pun ditebang untuk menyiasati kelangkaan bahan baku.
Pilihan yang sudah tak bisa dielakkan lagi.

Semenjak regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), perajin mebel sekelas Masrohan memang tak mudah untuk memperoleh bahan baku kayu dengan standard tinggi. Kalaupun dapat, harganya terlalu mahal untuk dijangkau.

Dia memberi gambaran, harga kayu jati lokal ukuran 1 kubik dengan diameter 20 cm—25 cm berkisar Rp2,5 juta—Rp3,5 juta, sementara kayu rakyat seperti jenis Mahoni, Sengon, maupun lainnya dijual sekitar Rp600.000—Rp700.000 per kubik dengan diameter 20 cm—50 cm.

“Sekarang ini yang penting laku dijual dan pembeli suka. Mau kayunya jenis apa, pembeli nggak peduli,” tuturnya.

Kesulitan bahan baku yang dialami perajin skala rumah tangga seperti Masrohan bukanlah cerita baru. Industri mebel di wilayah Jawa Tengah, seperti di Jepara, Surakarta, Sukoharjo, maupun beberapa lokasi lain menghadapi persoalan yang kurang lebih serupa.

Kecuali pemilik modal besar, kemudahan akses bahan baku ke perajin kecil sepertinya hanya cerita ‘hampa’. Belum lagi, mengenai pola hubungan antara perajin kecil dengan pengusaha yang lebih besar.

Centre for International Forestry Research (CIFOR), lembaga yang bergerak di bidang kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan, dan keseteraan melalui kebijakan dan praktik kehutanan negara berkembang, mencatat kebanyakan perajin kecil mebel tak memiliki posisi tawar kuat.

Peneliti CIFOR Herry Purnomo mengungkapkan sistem ekonomi yang dibangun antarperajin mebel di Jepara saling memiliki keterikatan.

Dalam rantai nilai mebel Jepara, katanya perajin kecil memiliki peran memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi.

“Bahan jadi atau setengah jadi ini dijual ke perusahaan mebel atau pengepul mebel untuk dilakukan finishing. Perusahaan atau pengepul sudah membatasi keuntungan yang diperoleh perajin kecil paling tinggi berkisar 10%,” katanya.

Produk yang disetor perajin kecil ketika sudah menjadi bahan jadi yang siap masuk pasar, selisih dengan harga jual dari tangan perajin berkisar 30%-40%. “Itu sebabnya, CIFOR memberi pendampingan agar perajin kecil ini naik kelas, bukan sekedar membuat produk saja, tapi juga bisa memasarkan,” tuturnya.

Demikian pula dalam memenuhi bahan baku, lembaga tersebut membekali masyarakat petani untuk melakukan penanaman pohon di lahan-lahan yang mereka miliki. Ini merupakan cara menyiasati pasokan kayu untuk kebutuhan industri di masa depan.

Ketua Kelompok ‘Karya Tani’ Sudiharto mengungkapkan inisiatif penanaman pohon yang dilakukan masyarakat merupakan upaya mengembalikan lagi hutan yang telah rusak akibat pembalakan liar, termasuk memenuhi kebutuhan bahan baku mebel di Jepara.

Sudiharto sendiri memilih jenis pohon Sengon Laut untuk ditanam dilahannya. Alasannya, jenis pohon ini relatif mudah dipelihara dan masa panennya yang cepat berkisar 5—6 tahun.

Sejalan dengan kebutuhan kayu bagi industri mebel yang terus meningkat, Sudiharto berharap masyarakat tergerak melakukan kegiatan penanaman dilingkungannya sendiri. Selain menghijaukan area sekitar, kegiatan ini mampu memotong rantai distribusi kayu bagi kebutuhan perajin kecil.

Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat perajin mebel di wilayah ini merata.

Laporan bagian pertama dari acara peluncuran buku 'Pelangi di Bumi Kartini'

Sabtu, 04 Agustus 2012

Mengangkat PFN Dari Liang Lahat


Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN) yang menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah nyata-nyata mati tapi belum sempat dikubur, memiliki rantai sejarah panjang dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Entitas ini merupakan perintis lahirnya karya film besar di Tanah Air pada masanya. Dari berbagai literatur, munculnya perusahaan ini berawal dari pendirian perusahaan film yang bernama Java Pasific Film (JPF) oleh Albert Ballink pada 1934.

Kelahirannya tersebut bersamaan dengan pembentukan gabungan bioskop Hindia dan film commisie yang menjadi cikal bakal lahirnya Lembaga Sensor Film. Selanjutnya, pada 1936 perusahaan ini mengubah namanya menjadi Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).

ANIF  memfokuskan diri pada pembuatan film cerita maupun dokumenter. Kedatangan Jepang sekitar 1942 membuat ANIF ikut terkena imbasnya. Sejalan dengan pendudukan Jepang, ANIF berubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha dengan kekhususan memproduksi tayangan untuk propaganda politik Jepang pada masa itu.

Memasuki masa kemerdekaan, Nippon Eiga Sha diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Sejalan dengan itu, para karyawan yang bekerja melakukan berbagai peliputan perisitiwa sejarah yang terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia.

Setelah era itu, perusahaan ini masih kerap berganti-ganti nama, dari mulai Perusahaan Pilem Negara (PPN) pada 1950, lalu saat melewati penyempurnaan ejaan berganti menjadi Perusahaan Film Negara (PFN).

Atas pertimbangan keuntungan dan perusahaan berjalan secara profesional, namanya berubah lagi menjadi Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN).

Jalan panjang PFN dengan berbagai pasang surut kegemilangan, kini berlabuh di tangan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

PPA merupakan perusahaan negara yang dibentuk dengan tujuan sebagai katalis meningkatkan nilai atau menyehatkan perusahaan maupun BUMN agar mampu tumbuh secara berkesinambungan.

Masuknya PFN dalam pengelolaan PPA karena kondisinya yang sudah tak lagi sehat itu. kegemilangan PFN yang melahirkan tokoh perfilman besar Indonesia seperti Usmar Ismail, memang tinggal kenangan.

Berdasarkan informasi dari situs PPA, perusahaan film ini memasuki tahap proses tindak lanjut untuk restrukturisasi dan revitalisasi bersama beberapa perusahaan lain.

Dengan kata lain, PFN yang melegenda dengan film anak-anak si-Unyil masih punya asa melanjutkan hidup setelah melalui tahapan restrukturisasi maupun revitalisasi.

Pertanyaan berikutnya, kalau pun masih mampu bertahan hidup setelah disehatkan, siapa yang akan mengambil alih PFN ?

Pak Dis, panggilan Dahlan Iskan mengisyaratkan PFN akan diakuisisi oleh sesama badan usaha milik negara (BUMN). Tentu pertimbangan tersebut atas dasar sinergi BUMN yang selama ini didengungkan pemerintah, termasuk mengacu pada UU BUMN No.19/2003.

Restrukturisasi memang bertujuan meningkatkan kinerja BUMN dan menghasilkan produk layanan dengan harga kompetitif. Selain itu, salah satu maksud restrukturisasi untuk memudahkan BUMN melaksanakan privatisasi.

Mengacu pada pasal 78 UU BUMN, terdapat tiga mekanisme privatisasi perusahaan negara. Pertama melakukan penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, kedua melakukan penjualan langsung kepada investor, atau ketiga menjual saham kepada karyawannya.

Ketentuan penjualan langsung kepada investor inilah yang tengah dipertimbangkan oleh Nexus, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang risk mitigation & strategic communications. Perusahaan swasta ini rupanya menaruh minat menyelamatkan PFN.

Ditemui disela acara buka puasa bersama 500 anak yatim piatu di sebuah hotel berbintang Jakarta Kamis (26 Juli 2012), Komisaris Nexus Jenny Rachman menjawab singkat pertanyaan yang diajukan Bisnis mengenai rencana menyelamatkan PFN tersebut.

Insya Allah, mohon doanya saja,” kata Jenny Rachman. Jenny Rachman merupakan artis senior yang memiliki pengalaman panjang dalam perjalanan film Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Aktor dan Aktris Film Indonesia (PARFI) periode 2006—2010.

Keterangan mengenai keseriusan perusahaan itu menyelamatkan PFN dari ‘kematian’ disampaikan lebih lanjut oleh Firsan Nova, Managing Director Nexus. Menurut Firsan, PFN merupakan aset negara yang selama ini tidak optimal pengelolaannya.

“Sebagai orang yang ada di industri film, Bu Jenny [Jenny Rachman] melihat bahwa PFN bisa dioptimalkan. Sekarang ini industri film makin berkembang luas,” ungkapnya.

Firsan memang belum menjelaskan secara detil bagaimana keterlibatan Nexus ke depan dalam menyelamatkan dan mengembangkan BUMN film ini.

Sejauh ini, pihaknya baru sebatas menyiapkan konsep tertulis pengelolaan PFN. “Masih konsep, belum kami bawa kemana-mana. Kami hanya berpikir, ini akan menjadi investasi yang baik ke depan apabila kita terlibat dalam pengelolaannya,” tambah Firsan.

Kemungkinan Nexus memang hanya akan terlibat dalam mengelola PFN, tidak mengambil alih secara penuh perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, dia tengah mempertimbangkan berbagai regulasi dalam Kementerian BUMN yang dapat dijadikan acuan keterlibatan swasta mengelola perusahaan negara.

“Kalau dikelola swasta sepertinya masih memungkinkan, kalau kami take over PFN rasanya tidak. Konsep ini masih kami matangkan, setelah itu baru kami bawa ke PPA karena sekarang ini PFN ada di sana. Apakah swasta boleh terlibat atau tidak, sampai saat ini kami belum tahu persis,” jelasnya.

Dia menggarisbawahi bahwa Nexus siap menyegarkan pengelolaan di tubuh PFN, termasuk menghadirkan peralatan dan teknologi terkini untuk mendukung kegiatan perusahaan sehingga berjalan kompetitif. Adakah malaikat lain yang akan mengangkat PFN dari liang lahat ?

Tulisan ini pernah dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi Sabtu 4 Agustus 2012