Selasa, 07 Agustus 2012

Asal Bisa Digergaji, Jadilah Mebel


Masrohan, bapak setengah lusin anak oleh kalangan rekan-rekannya dinilai seorang yang ulet dan tahan banting. Perajin mebel asal Dusun Cangkring Batealit Kabupaten Jepara Jawa Tengah ini kebal dalam segala cuaca.

Sejak 1982, Masrohan menekuni usaha mebel. Saat bisnis mebel mengalami kejayaan, dia juga sempat merasakan manisnya. Meski hanya kepanjangan tangan dari sejumlah eksportir mebel di beberapa daerah sekitar Jepara dan Semarang, setidaknya mebel buatannya mampu merambah pasar luar negeri.

Seiring dengan krisis ekonomi berturut yang menimpa Indonesia (1998), Amerika Serikat (2008), dan disusul Eropa (2011), ditambah regulasi pemanfaatan kayu yang kian ketat, serta sulitnya memperoleh bahan baku kayu berkualitas, kemampuan Masrohan bertahan dengan usaha yang ditekuninya hingga saat ini merupakan sebuah anugerah.

“Kalau pengalaman sudah banyak saya. Pernah kena tipu, mebel yang saya kirim tidak di bayar. Mau gimana lagi, lha wong orangnya juga tidak dibayar dari pembelinya,” ujarnya dalam Bahasa Indonesia bercampur aksen Jawa.

Kerugian yang dialaminya mencapai puluhan juta rupiah. Dia memilih tidak menuntut atau melaporkan kepada pihak berwajib mengenai penipuan yang dialaminya. “Kalau saya lapor polisi, malah bisa keluar uang lebih banyak. Nggak cucuk [imbang.red] dengan kerugiannya,” jelasnya.

Kini, Masrohan tak banyak bermain untuk pasar eskpor. Dia memilih membuat produk untuk memenuhi pasar dalam negeri. Kebanyakan hasil produknya dikirim ke Yogyakarta, Kendal, Semarang, Boyolali, dan sejumlah wilayah di Jawa Tengah.

Produk buatannya seperti meja, kursi, tempat tidur, lemari, dan produk mebel kebutuhan rumah tangga lainnya. Bahan baku kayu yang didapatkan, tak lagi mengandalkan kayu jenis pohon Jati maupun pohon Mahoni.

“Sekarang kayu sembarang. Asal bisa digraji [gergaji] dan dibentuk jadi meja kursi ya saya beli,” katanya. Bahkan, kayu dari pohon Mangga pun ditebang untuk menyiasati kelangkaan bahan baku.
Pilihan yang sudah tak bisa dielakkan lagi.

Semenjak regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), perajin mebel sekelas Masrohan memang tak mudah untuk memperoleh bahan baku kayu dengan standard tinggi. Kalaupun dapat, harganya terlalu mahal untuk dijangkau.

Dia memberi gambaran, harga kayu jati lokal ukuran 1 kubik dengan diameter 20 cm—25 cm berkisar Rp2,5 juta—Rp3,5 juta, sementara kayu rakyat seperti jenis Mahoni, Sengon, maupun lainnya dijual sekitar Rp600.000—Rp700.000 per kubik dengan diameter 20 cm—50 cm.

“Sekarang ini yang penting laku dijual dan pembeli suka. Mau kayunya jenis apa, pembeli nggak peduli,” tuturnya.

Kesulitan bahan baku yang dialami perajin skala rumah tangga seperti Masrohan bukanlah cerita baru. Industri mebel di wilayah Jawa Tengah, seperti di Jepara, Surakarta, Sukoharjo, maupun beberapa lokasi lain menghadapi persoalan yang kurang lebih serupa.

Kecuali pemilik modal besar, kemudahan akses bahan baku ke perajin kecil sepertinya hanya cerita ‘hampa’. Belum lagi, mengenai pola hubungan antara perajin kecil dengan pengusaha yang lebih besar.

Centre for International Forestry Research (CIFOR), lembaga yang bergerak di bidang kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan, dan keseteraan melalui kebijakan dan praktik kehutanan negara berkembang, mencatat kebanyakan perajin kecil mebel tak memiliki posisi tawar kuat.

Peneliti CIFOR Herry Purnomo mengungkapkan sistem ekonomi yang dibangun antarperajin mebel di Jepara saling memiliki keterikatan.

Dalam rantai nilai mebel Jepara, katanya perajin kecil memiliki peran memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi.

“Bahan jadi atau setengah jadi ini dijual ke perusahaan mebel atau pengepul mebel untuk dilakukan finishing. Perusahaan atau pengepul sudah membatasi keuntungan yang diperoleh perajin kecil paling tinggi berkisar 10%,” katanya.

Produk yang disetor perajin kecil ketika sudah menjadi bahan jadi yang siap masuk pasar, selisih dengan harga jual dari tangan perajin berkisar 30%-40%. “Itu sebabnya, CIFOR memberi pendampingan agar perajin kecil ini naik kelas, bukan sekedar membuat produk saja, tapi juga bisa memasarkan,” tuturnya.

Demikian pula dalam memenuhi bahan baku, lembaga tersebut membekali masyarakat petani untuk melakukan penanaman pohon di lahan-lahan yang mereka miliki. Ini merupakan cara menyiasati pasokan kayu untuk kebutuhan industri di masa depan.

Ketua Kelompok ‘Karya Tani’ Sudiharto mengungkapkan inisiatif penanaman pohon yang dilakukan masyarakat merupakan upaya mengembalikan lagi hutan yang telah rusak akibat pembalakan liar, termasuk memenuhi kebutuhan bahan baku mebel di Jepara.

Sudiharto sendiri memilih jenis pohon Sengon Laut untuk ditanam dilahannya. Alasannya, jenis pohon ini relatif mudah dipelihara dan masa panennya yang cepat berkisar 5—6 tahun.

Sejalan dengan kebutuhan kayu bagi industri mebel yang terus meningkat, Sudiharto berharap masyarakat tergerak melakukan kegiatan penanaman dilingkungannya sendiri. Selain menghijaukan area sekitar, kegiatan ini mampu memotong rantai distribusi kayu bagi kebutuhan perajin kecil.

Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat perajin mebel di wilayah ini merata.

Laporan bagian pertama dari acara peluncuran buku 'Pelangi di Bumi Kartini'

Tidak ada komentar: