Minggu, 20 Juli 2008

Pancasila Dari Mata Seniman

Ada sebuah ruang gugatan dan pertanyaan serta kritik sosial terhadap perilaku masyarakat di Tanah Air yang dinilai mulai perlahan meninggalkan identitasnya. Masyarakat kita dinilai sudah melupakan nilai-nilai luhur Pancasila.


Degradasi kepercayaan identitas itulah yang mungkin mengilhami sejumlah seniman kawakan di panggung pertunjukan Tanah Air mengusung tajuk konser yang mereka gelar dengan nama Konser Garuda Pancasila.


Sejumlah nama yang turut meramaikan pentas malam itu diantaranya Franky Sahilatua, Sawung Jabo dan Waldjinah. Mewakili nafas seni yang diusung oleh masing-masing personal tersebut, mereka melakukan kolaborasi apik dengan dalang Slamet Gundono yang cukup dikenal dengan komunitas wayang suketnya.


Dalam pertunjukan berdurasi sekitar tiga jam itu, sejumlah seniman itu saling bertukar waktu untuk mengisi dan menghibur ratusan penonton yang memadati gedung teater arena Taman Budaya Surakarta (TBS), Jumat malam pekan lalu.


Sebuah panggung besar dengan dekorasi kepala burung garuda berdiri tegak di tengah panggung, helaian tali putih yang menggambarkan sayap-sayap sang burung garuda mengepak gagah, mengapit arena pertunjukan.


Tepat dibawahnya, dalang berbadan tambun, Slamet Gundono berinteraksi dengan penonton dan sejumlah pemain pengiringnya.


Dalang asal Tegal ini cukup fasih melempar berbagai lelucon yang mengundang gelak tawa diantara kaum hadirin.


Bagaimana dia menuturkan pengalamannya dengan Pancasila yang menggelikan. Mulai dari menyanyikan lagu Garuda Pancasila yang tak pernah tuntas, hingga cara dia mengelabuhi pemimpin pondok pesantren akibat kegemarannya menonton kethoprak hingga larut malam.


Penonton semakin dibuat terpingkal saat Slamet Gundono berkolaborasi dengan Waldjinah yang cukup dikenal dengan lagu Walang Kekek.


“Saya heran, kenapa orang yang gemuk mesti kok suaranya bagus sekali,” ujar Slamet dengan maksud memuji dirinya sendiri.

Mendengar ucapan itu, Waldjinah menimpali. “Aku lemu yo lemu, mung ojo ngantek ngono kui [Aku memang gemuk, tetapi saya tidak mau seperti itu (Slamet Gundono.red)],” tukasnya yang disahut tawa dan tepuk tangan penonton.


Sementara itu, Franky Sahilatua yang dikenal sebagai seorang penyanyi balada mengungkapkan perlunya semua komponen bangsa ini kembali lagi memahami khitah Pancasila sebagai dasar berpikir dan mengambil sikap hidup.


“Kita semua rasanya sudah perlu kembali ke Pancasila,” tuturnya sebelum menyanyikan lagu ciptaannya Pancasila Rumah Kita.


Dalam lagu tersebut, Franky mencoba menggali kembali inti ajaran sila demi sila dalam Pancasila yang tersaji dalam syairnya.


//Untuk semua puji namanya/untuk semua cinta sesama/untuk semua keluarga menyatu/untuk semua bersambung rasa/untuk semua saling membagi//


Pertunjukan tersebut dipungkasi dengan penampilan apik musisi Sawung Jabo. Menurut dia, krisis yang melanda bangsa kita saat ini lebih disebabkan miskinnya cinta yang tumbuh antar sesama.


“Orang Indonesia sulit mempercayai diri sendiri untuk mencintai orang lain,” jelasnya.


Lagi-lagi, dalam frase ini terjadi dialog antara Slamet Gundono dan Sawung Jabo. “Kok kamu sentimen gitu dengar omongan saya,” tanya Sawung.


“Saya heran, orang seperti kamu kok bicara soal cinta,” timpal Slamet yang lagi-lagi disambut gelak tawa penonton.


Dalam akhir pertunjukan, Salmet Gundono sempat mengutarakan maksud dirinya menggelar Konser Garuda Pancasila yang melibatkan sejumlah seniman tersebut.


“Berbagai seniman yang dihadirkan ini untuk mewakili keragaman yang ada di Indonesia, dari sini kita bisa melihat cara pandang masing-masing seniman terhadap pancasila,” pungkasnya mengakhiri konser menawan tersebut.

Selasa, 15 Juli 2008

Berteduh di Taman Sari

Pulang ke kotamu/Ada setangkup haru dalam rindu//Masih seperti dulu/Tiap sudut menyapaku bersahabat/penuh selaksamakna//Terhanyut aku akan nostalgi/Saat kita sering luangkan waktu/Nikmati bersamaSuasana Jogja//

Sepenggal lirik lagi milik grup musik Kla Project yang bertajuk Yogyakarta itu, sejenak menghantar memori saat menginjakan kaki di kota gudeg tersebut.

Terlebih saat berkesempatan untuk melihat secara langsung lokasi yang pernah dijadikan sebagai tempat pembuatan video klip lagu itu di kawasan Water Castle Taman Sari.

Dari rekam sejarah, yang sempat tercatat, Taman Sari lokasinya berada sekitar 400 meter dari Keraton Yogyakarta.

Taman Sari sesuai dengan namanya merupakan taman yang begitu indah, karena dahulu kala tempat ini adalah tempat peristirahatan dan rekreasi Sultan. Pesona taman ini dapat mempesonakan siapa saja yang melihatnya, konon taman sari ini tempat pertemuan sultan dengan penguasa laut selatan Nyi Roro Kidul.

Lokasi ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1756 dan selesai pada tahun 1765 dengan mengusung konsep bangunan dan arsitektur memadukan gaya Portugis, Cina, Islam dan Jawa.

Sebagian dari bangunan dan arsitektur dari taman sari itu kini terlihat hancur, hal itu disebabkan oleh beberapa kali terjadi musibah, terakhir saat gempa bumi melanda Yogyakarta Mei 2005 silam.

Tempat ini digunakan untuk berbagai kepentingan, sebagai tempat rekreasi, peristirahatan, persembunyian dan meditasi.

Untuk masuk ke kawasan ini memang tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam, cukup dengan Rp3.000, anda bisa menikmati jengkal demi jengkal peninggalan yang kini masih dijadikan sebagai salah satu herritage Yogyakarta.

Tempat ini biasa dijadikan pula sebagai refrensi tempat untuk pemotretan prewedding atau foto-foto dengan nuansa kuno dan etnik.

Cukup untuk menciptakan nuansa romantisme.




Kamis, 03 Juli 2008

Akhir Penantian KRH Darmodipuro

Gurat kesedihan ataupun rasa kecewa, hampir tidak terpancar dari wajahnya. Berjalan gontai, diapit oleh sejumlah polisi berseragam lengkap, mungkin sudah dirasakan sebagai hal biasa selama waktu delapan bulan terakhir ini.

Dari lekuk kulitnya yang tak lagi merata di usia yang hampir menginjak 70 tahun, adalah sebuah cobaan yang mungkin dirasakannya dengan kejadian itu.

Ya, potret itu terasa lekat ketika saya mencoba merekam sosok KRH. Darmodipuro atau yang akrab disapa Mbah Hadi, Kepala Museum Radya Pusaka Kota Solo.

Museum yang berada di lintas jantung Kota Solo tersebut, sempat mencuat menjadi buah bibir publik, ketika sejumlah arca asli koleksi museum tersebut raib, sementara yang terpampang di museum tersebut diduga arca-arca palsu.

Sedikitnya ada enam arca yang diduga palsu dan nilai yang diperdagangkan diperkirakan mencapai Rp600 juta.

Kasus ini semakin menarik perhatian masyarakat, saat nama pengusaha Hasyim Djoyohadikusumo, adik dari mantan Pangkostrad Prabowo Subianto disebut-sebut terlibat dalam kasus itu.

Drama persidangan pun dimulai. Saksi-saksi yang terkait langsung dengan kasus itu dihadirkan. Drama itu semakin memanas ketika salah satu saksi ahli dari BP3, Lambang Babar Purnomo meninggal dunia. Spekulasi pun semakin menjurus kematiannya terkait dengan rencana kesaksiannya di kasus ini.

Sejurus kemudian, tepat pada hari Senin tanggal 30 Juni 2008, vonis hakim dijatuhkan kepada Mbah Hadi.

Hukuman 18 bulan penjara harus dilalui oleh Mbah Hadi. Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Ganjar Susilo tersebut, lebih ringan enam bulan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menginginkan hukuman selama dua tahun.

Saat dibawa ke ruang tunggu tahanan seusai persidangan, Mbah Hadi tetap santai dan apa adanya.

Ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan, jawaban yang muncul terkadang memancing tawa di kalangan kuli tinta tersebut.

Bahkan, saat disinggung apakah dirinya akan mengajukan banding atas putusan tersebut atau tidak, Mbah Hadi menjawab enteng.

"Nggak perlu banding-bandingan," ungkapnya.

Sepertinya Mbah Hadi cukup besar hati menerima vonis itu. Dengan demikian, waktu tahanan yang tersisa sekitar delapan bulan lagi, masih akan dijalaninya.

Lalu, apa yang masih menjadi obsesi Mbah Hadi ?

Dia pernah mengutarakan mendapat kabar akan diwawancarai oleh stasiun TV Al Jazeera. Tapi, entahlah, apakah wawancara itu terwujud atau tidak, saya kurang mengetahui.

Lepas dari itu, rupanya dia masih memiliki keinginan membuka praktek ilmu spiritual yang selama ini dijalaninya.

Kemampuan spiritualnya tersebut berupa kemampuan mencarikan hari baik untuk pernikahan ataupun mendirikan rumah, bahkan beberapa hal yang terkait dengan tradisi masyarakat jawa, kemampuan Mbah Hadi cukup mumpuni.

Sebelum sidang, dirinya sempat membagikan pamflet terkait rencana praktek tersebut yang akan dilakukan di sekitar kawasan bangsal Kraton alun-alun utara.

Kini, saat vonis sudah dijatuhkan, Mbah Hadi terpaksa menunda keinginan itu. Mungkin tidak untuk hari ini mbah, mungkin nanti atau lusa, karena waktu cukup sabar menanti kiprahmu kembali.