Sabtu, 25 Agustus 2012

Membatasi Rokok (tidak) Berarti Mematikan Petani Tembakau ?


Gerakan masyarakat sipil maupun negara untuk mengendalikan konsumsi rokok, kerap kali dituding tidak nasionalis karena ditunggangi berbagai kepentingan asing.

Paling populer tentu isu penerimaan dana asing untuk membiayai kegiatann advokasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Selain itu, persoalan yang muncul di permukaan selalu menyebut gerakan mengendalikan rokok berpotensi mematikan industri rokok nasional, termasuk ‘membunuh’ nasib jutaan petani tembakau yang menggantungkan mata pencahariannya dari bisnis tersebut.

Paragraf pembuka  di atas merupakan beberapa hal yang dicermati dan menjadi  titik tolak dalam sebuah diskusi ‘Nasionalisme Pengendalian Tembakau’ yang digelar oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Diantara peserta diskusi yang kebanyakan adalah pelajar dan mahasiswa, menyoroti dua hal, nasib pekerja di industri rokok dan keberlangsungan hidup petani tembakau. Meski tak banyak mengundang perdebatan, soal kelangsungan pekerja dan petani memang kerap dijadikan strategi bagi industri rokok.

Bahkan, ada yang menyebut mengatasnamakan petani tembakau dan nasib ribuan buruh industri rokok merupakan alasan standard perusahaan rokok di seluruh dunia.

Meski demikian, harus diakui pula industri rokok di Indonesia paling jor-joran dalam urusan duit. Ibaratnya, uang yang mereka belanjakan untuk pemasaran maupun berbagai kegiatan tanggung jawab sosial tak berseri jumlahnya.

Mulai dari dana untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, dukungan kegiatan seni dan budaya, sponsor olahraga, maupun kegiatan sosial lainnya, hampir semuanya berlabel nama besar industri rokok nasional.

Sebagai gambaran saja, pada 2010 industri rokok di Indonesia menyumbang tak kurang dari Rp66 triliun ke kas negara melalui cukai rokok. Jumlah pekerja di industri ini pun, hampir mendekati angka 1 juta orang di tahun yang sama.

Namun, Komnas Pengendalian Tembakau mencoba melawan data tersebut dengan meyajikan data bahwa dampak konsumsi rokok sangat membahayakan kesehatan masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut tak kurang dari 85 juta masyarakat Indonesia merupakan perokok aktif. Jumlah ini menempati peringkat ketiga dunia, setelah China dan India.

Selain itu, diperkirakan masih ada 95 juta perokok pasif yang berpotensi terserang penyakit tak kalah bahaya sebagai dampak dari asap rokok.

“Upaya mendorong terwujudnya regulasi pengendalian rokok terutama bagi perlindungan anak, remaja, dan generasi tua. Kalau bicara nasionalisme, justru spirit ini yang harus dilihat sebagai bagian dari rasa nasionalis,” ujarnya.

Data Komnas Pengendalian Tembakau menyebut jumlah perokok usia muda dengan rentang usia 10—14 tahun meningkat tajam hingga 6 kali lipat dalam kurun waktu 12 tahun.
Jumlah perokok di usia tersebut pada 1995 sebanyak 71.126 anak, meningkat menjadi 426.214 anak pada 2007.

“Usia anak mulai merokok paling tinggi rentang 15—19 tahun. Semakin bertambah usia, aktivitas merokok semakin berkurang karena sadar dengan kesehatannya,” kata Fuad Baradja  dari Komnas Pengendalian Tembakau.

Upaya mengendalikan rokok dalam konteks regulasi harus dipisahkan dengan nasib para petani tembakau dan ribuan buruh rokok lainnya.

Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohamad berpendapat dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) Pengendalian Tembakau yang masih dalam tahap finalisasi, tidak disebutkan adanya larangan bagi petani menanam tembakau.

“Tidak ada satu pun negara yang petani tembakuanya ambruk atau mati setelah negara itu menerbitkan aturan pembatasan rokok,” katanya.

Menurut Kartono pemahaman seperti inilah yang perlu disampaikan kepada petani, sehingga mereka tidak mudah termakan isu yang dihembuskan industri rokok.

Petani perlu dibekali pengetahuan bahwa tembakau bukan hanya sebagai bahan baku utama rokok, melainkan dapat dipakai untuk menunjang industri kesehatan, misalnya sebagai protein antikanker, obat diabetes & antibodi, maupun obat luka.

Bahkan, peneliti dari laboratorium bioteknologi Universitas Thomas Jefferson menyebut tembakau dapat dioptimalkan sebagai bahan bakar biofuel yang lebih efisien dibandingkan dengan tanaman pertanian lainnya.

Petani tembakau di dalam negeri setiap tahun sedikitnya menghasilkan produk tembakau sebanyak 180.000 ton, masih lebih kecil dari tingkat kebutuhan yang mencapai 250.000 ton. Namun, itu semua masih diserap industri rokok, belum menyentuh bisnis lainnya.

Pertanyaannya, adakah upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman tembakau ini di luar bisnis ‘asap’ rokok ?

Tulisan ini dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi Jumat 24 Agustus 2012

Tidak ada komentar: