Jumat, 31 Agustus 2012

Anak Indonesia, Presiden Bongsor, dan Walikota Cungkring

Seremonial peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2012, sedikit beda dari tahun-tahun sebelumnya, meski dari sisi urutan acara masih terkesan itu-itu saja. Faktor pembedanya, pertama puncak pesta anak nasional ini dilakukan pada 29 Agustus 2012.

Jadwal kegiatan ini mundur satu bulan dari peringatan HAN yang jatuh setiap 23 Juli. Alasan padatnya kegiatan Tuanku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi alasan dibalik molornya kegiatan tahunan tersebut.

Kedua tentu yang marak diperbincangkan publik akhir-akhir ini. Presiden SBY sempat mengingatkan sejumlah anak yang tertidur agar bangun, mendengar isi pidatonya saat tengah menyampaikan sambutan. 

Publik lantas meretas ingatan terhadap kebiasaan presiden memberi teguran kepada audiens, ketika dirinya tengah memaparkan persoalan yang menurutnya maha penting.

Lebih dari dua kali, sang presiden pendiri Partai Demokrat ini memberi teguran audiens yang tertidur, antara lain saat menyampaikan pidato peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Juni lalu dan pengarahan di Sekolah Calon Perwira (Secapa) Angkatan Darat di Bandung.


Alhasil, teguran presiden nan tinggi bongsor di puncak HAN dijadikan komoditi berita yang bergulung bagai ombak di pesisir pantai selatan oleh media massa. Orang yang berada di lingkaran terdekatnya pun mencoba menampik dengan berbagai argumen.

Bukan debat kusir soal teguran khas presiden yang semestinya dikedepankan. Ada satu hal yang perlu memperoleh perhatian dibandingkan dengan sekedar anak tertidur saat presiden tengah berpidato.

Tanpa sadar, peringatan HAN setiap tahun selalu dikemas dalam ritus yang begitu-begitu saja. Anak-anak Indonesia, mulai dari tingkat usia dini sampai sekolah menengah, hanya sekedar duduk rapi memenuhi ruang acara.

Tangannya menggegam bendera merah putih atau pernak-pernik lain yang siap dilambai-lambaikan saat presiden dan rombongan tiba di lokasi acara.

Sebelum acara resmi dimulai, sebagian diantara mereka ada yang menampilkan tarian maupun nyanyian. Sebagian diantara mereka pasti ada yang merasa bangga. Namun, sebagian lagi tentu merasa bosan karena sekitar 2-3 jam sebelum presiden menyambangi acara, mereka sudah berada di lokasi. Capek, tentu saja.

Ketika jam acara dimulai dan rombongan presiden tiba, anak-anak ini serempak menyanyikan lagu, "Pak SBY Siapa Yang Punya...Bu Ani Siapa Yang Punya..." demikian seterusnya. 

Hampir setiap tahun saat peringatan HAN, lagu ini menjadi andalan. Kurus terobosan dan kreatifitas. Padahal, anak merupakan sumber kreatifitas. Ruang imajinasi mereka masih terbuka luas untuk menerima dan menyaring hal baru. 

Bukan sekedar mengikuti arahan panitia yang monoton, tak ada bedanya.

Hal berikutnya tentu terkait pidato presiden itu sendiri. Orang-orang disekeliling Presiden SBY rasanya perlu 'meratifikasi' energi dan pemikiran supaya anak-anak Indonesia mampu menangkap pesan yang disampaikan Kepala Negara. 

Presiden SBY butuh gaya komunikasi yang lebih mudah ditangkap anak-anak supaya tak terkesan retorik dan membosankan. 

Sebagai pembanding, saya mencoba menggali ingatan terhadap gaya komunikasi yang dilakukan Walikota Solo Joko Widodo kepada anak-anak. 

Ini hanya sebagai gambaran. Kenapa Jokowi yang saya pilih, karena saya pernah menyaksikan secara langsung aktivitas dirinya. Pilihan ini bukan pula bentuk kampanye kepada Jokowi yang akan bertarung dalam pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta putaran kedua September nanti.

Saat acara bertemakan anak yang dihelat di Taman Balekambang Surakarta, Jokowi tidak memilih menyampaikan pidato bertele-tele. Dia cukup maju ke podium, meraih microfon lalu mengajak anak-anak yang hadir disitu bermain kuis kecil-kecilan.

Pertanyaannya sederhana, cukup meminta anak-anak menghafal urutan Pancasila atau menyanyikan lagu nasional. "Siapa yang bisa jawab, nanti saya beri sepeda," katanya saat itu.

Tentu saja hal ini langsung mengundang minat anak-anak. Ketika Jokowi mengajukan pertanyaan dan meminta anak-anak segera maju, langsung berhamburanlah mereka saling beradu cepat mendekati walikota 'cungkring' itu.

Sepintas hal ini terlihat kecil dan biasa, namun memberi dampak energi yang luar biasa bagi anak-anak. Mendengar kata hadiah sepeda, mereka langsung berlomba-lomba.

Para tamu undangan yang hadir pun merasa terhibur melihat keceriaan anak-anak yang kadang menimpali pertanyaan yang diajukan dengan jawaban ngawur nan lucu.

Inilah yang semestinya dilahirkan. Boleh saja mengemas acara sesuai protokoler kepresidenan yang memang rigid. Namun, memberi ruang bagi anak untuk berinteraksi dengan pemimpinnya atau sebaliknya membuka ruang diskusi pemimpin dengan anak-anak, tentu akan membawa kebanggan dan semangat bagi anak.

Anak-anak bukan robot yang hanya bisa menerima perintah. Mereka kerap kali menggali informasi atau menemukan keceriannya dengan gaya mereka sendiri. Bukan dengan cara kaku yang miskin inovasi.

Selamat Hari Anak Nasional, anak-anak Indonesia. 

Tidak ada komentar: