Selasa, 23 Desember 2008

Kampoeng Batik Laweyan di Tengah Meretas Kejayaan Masa Lalu


B
erbelanja dan berwisata. Itulah eksotika yang coba ditawarkan Kampoeng Batik Laweyan Kota Solo.

Sesaat memasuki kawasan ini, pandangan kita langsung tersita oleh bangunan kuno yang diantaranya sudah lapuk termakan jaman. Terbengkalai namun tetap mempesona.


Dari aksen yang ditampilkan, lahir kesan repertoar yang menyiratkan kawasan tersebut pernah memiliki rentetan kejayaan dari sebuah sejarah.


Inilah sisi lain Solo. Ketika modernitas selangkah menapak, sebuah sentra industri batik yang pernah berjaya, kini perlahan tumbuh mengiringi jejak langkah peradaban kota.

Kampung Batik Laweyan, dari sebuah cerita yang terpetik pernah menyimpan sejarah kejayaan saudagar batik lewat KH. Samanhoedi. Untuk menghormati perannya dalam sejarah bangsa, dikawasan itu berdiri Museum Samanhoedi yang didirikan Yayasan Warna Warni milik Ny. Krisnina Akbar Tandjung.

Komunitas ini sendiri lahir pada 25 September 2004. Berangkat dari kesadaran sejumlah "saudagar muda" batik di kawasan itu untuk menawarkan sebuah konsep berbeda, memadukan konsep belanja dan wisata.

Perlahan dengan kekuatan yang ada, sejumlah pengusaha batik mulai tumbuh kesadaran menjadikan kawasan itu sebagai sebuah aset pertumbuhan ekonomi kreatif.


Menyusuri gang di kawasan tersebut, sejumlah tanda petunjuk terlihat setia mengiring langkah pengunjung. Entah sekedar menikmati romantisme bangunan, melihat-lihat produk batik sampai melongok proses produksi batik.

Anda pun diperkenankan untuk belajar membuat batik di lokasi ini, belajar memegang canting (alat untuk membatik) dan menggoreskannya dalam kain yang siap dijadikan bahan batik.

Menurut Ketua Masyarakat Kampoeng Wisata Batik Laweyan Alpha Fabela P, konsep kampung wisata ini akan terus dibenahi dengan menawarkan berbagai romantisme.

"Beberapa rumah kuno akan direnovasi, akan dijadikan semacam kafe atau lounge. Semuanya dengan nuansa kental batik," ujarnya saat penulis berkesempatan mengunjungi kawasan ini.


Laweyan sekarang, dengan 2.500 jiwa warga yang berada disekitarnya tengah menata kembali puing-puing kehancuran. Membangun eksistensi sebagai sebuah kawasan yang akan memberikan nilai ekonomi, bukan hanya bagi Solo tapi bagi warga disekitarnya.

Sejarah tidak akan pernah usang, ketika sekelompok masyarakat tetap mampu memaknai dari lembar sejarah yang mungkin telah menjadi sekam.

Dari kawasan inilah, Laweyan ingin bertutur "Lewat batik ada sebuah sebuah cerita, cerita tentang kejayaan masa lalu yang pernah merekah. Dari sini pernah lahir urat nadi ekonomi untuk sebuah bangsa,"







Sabtu, 20 Desember 2008

Laskar NgeLAngi, Gado-Gado Menyegarkan

Demam Laskar Pelangi. Buku pertama dari tetralogi karya Andrea Hirata itu memang cukup menyengat. Tanpa menisbikan karya sastra lain yang hadir, tapi boleh dibilang novel yang telah diadopsi ke layar lebar ini paling laris manis sepanjang tahun ini.


Begitu fenomenalnya novel Laskar Pelangi dengan polesan latar belakang kehidupan di Pulau Belitung, yang eksotik tidak mengherankan jika karya itu coba diolah ke dalam bentuk seni pertujukan lainnya.

Jika saja, Andrea Hirata hadir di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS) Jumat malam (19 Desember 2008), entah sekedar senyum kecut atau riang tawa gembira sepanjang acara, bakalan muncul dari bibirnya.

Cerita novel Laskar Pelangi yang sarat dengan pesan persahabatan serta riak perjuangan tokoh-tokoh cerita didalamnya yang haus akan ilmu pengetahuan tersebut, dibawa dengan alur bergenre drama parodi.

Inilah kekuatan cerita parodi. Mengusung tuntas judul plesetan "Laskar NgeLAngi" tetapi cerita yang mengalir didalamnya mentransfer secara habis-habisan lakon Sam Pek Eng Tay.


Lebih menggelikan lagi, satu tokoh dalam cerita itu menampilkan sosok Syeh Puji-tokoh asal Ambarawa Semarang yang sempat mencuat saat menikahi gadis berusia 12 tahun.

Sehingga, untuk merunut cerita sesungguhnya, parodi ini mengolah semua kemasan sesuai aslinya maupun dibumbui kejadian sehari-hari dengan gaya yang ringan dan khas.

Tak heran, untuk mewakili aroma Sam Pek Eng Tay-nya, pernak-pernik cerita yang dominan muncul didalamnya kental dengan aroma Tiongkok. Mulai dari tata panggung sampai kostum pemainnya.

Soal bahasa, jangan kuatir dengan gaya sajian Paroden Basah. Memaksakan diri dengan bahasa Mandarin, pastinya mereka pun tak sanggup, alhasil dialog mandarin dengan sedikit aksen Indonesia tetapi lebih kental Jawa ngoko-nya itulah yang memancing hadirnya tawa sekitar 300 penonton.

Tengok saja personilnya, namanya cukup Njawa Hollywood diantaranya Mamang Tse, Leonarto, Budi Kocrit, Ira Irawan dan Angga Radio Rusak.

Seperti dugaan saya sebelumnya, pertunjukan berdurasi dua jam itu akan mampu menyedot adrenalin tawa, seperti kemasan cerita Paroden Basah sebelumnya.

Ketika pertunjukan itu usai, penonton pun sudah tak peduli alur cerita yang mengalir dan hubungan antara Laskar Pelangi-Sam Pek Eng Tay. Mereka hanya hadir demi memenuhi keceriaan, peduli pada kepuasan, tertawa lepas dan sesaat menyeberang dari rutinitas keseharian.






Sabtu, 13 Desember 2008

Goyang Gergaji "Barisan Sakit Hati"

Puluhan massa yang mengatasnamakan korban bencana banjir tahun 2007, tiba-tiba menduduki halaman Balaikota Solo, Kamis siang lalu.

Mereka menuntut Pemerintah Kota Solo segera mencairkan bantuan bencana senilai Rp5 miliar yang pernah diserahkan kepada pemerintah setempat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Beberapa peserta aksi itu meneriakan, bantuan itu semestinya menjadi hak mereka, hak bagi korban bencana banjir.


Para demosntran mendesak dapat menemui secara langsung Walikota Solo Joko Widodo maupun Wakil Walikota Hady Rudiatmo.

Saat pelaksana tugas (Plt) Sekertaris Daerah Pemkot Solo Supradi Kartamenawi menemui para pendemo, mereka enggan menyampaikan permasalahan itu kepada Sekda dan tetap menuntut dua pejabat teras Kota Solo itu langsung turun tangan.

Terlepas dari tarik ulur negoasiasi itu, sedikit menarik permasalahan ke belakang, bantuan yang diberikan oleh presiden saat itu sebenarnya bukanlah bantuan murni dari institusi kepresidenan.

Bantuan yang diserahkan ke pemerintah daerah yang terkena bencana, yakni Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta, merupakan bantuan dari Departemen Sosial yang tidak seluruhnya dalam bentuk uang.

Bantuan tersebut diantaranya berupa bahan makanan dan peralatan evakuasi lainnya. Dan sepengatahuan penulis, tidak ada janji apapun yang dilontarkan oleh pemerintah memberikan bantuan uang kepada korban bencana dalam bentuk tunai.

Sehingga, tuntutan warga bantaran yang terlanda bencana banjir 2007 sebenarnya cukup salah alamat.

Satu hal yang sempat membuat penulis bertanya, mengapa aksi yang mereka gelar baru dilakukan saat ini, ketika Pemkot Solo bersama warga di sekitar bantaran gencar mensosialisasikan upaya relokasi.

Kalau memang Pemkot Solo pernah menjanjikan bantuan bagi korban bencana, entah dalam bentuk uang maupun santunan lainnya, semestinya mereka mempertanyakan itu sejak awal atau pertengahan tahun 2008.

Keanehan ini membawa satu kesimpulan dibenak penulis, bahwa aksi jalanan yang mereka gelar itu (sangat memungkinkan) ditopang oleh "barisan sakit hati" yang tengah merancang gerakan penggembosan terhadap duet Jokowi-Rudi.

Gerakan ini memang tengah gencar menyebarkan isu ke tengah publik dengan mengatasnamakan keberpihakan kepada kultur budaya Solo.

Perilaku pembangunan yang saat ini gencar dilakukan di Solo, diantaranya pembangunan hotel, mall dan apartemen, dinailai tidak senafas dengan citra Solo sebagai kota budaya yang bermartabat.

Kini, tinggal masyarakat menilai sendiri karakter pemimpin kotanya. Jangan sampai masyarakat dininabobokan oleh isu "tidak bermutu" yang ingin menggoyang anggun dan asrinya kedamaian di kota bengawan.






Minggu, 07 Desember 2008

Secarik Kata dari Yogya

Gema takbir berkumandang dari kutub langit, terdengar begitu nyaring mengiringi gemercik gerimis yang membasahi Kota Yogyakarta sepanjang Minggu 7 Desember 2008.

Sekelompok masyarakat, membelah lajur kota itu, berjalan beriring dengan meneriakan takbir kemenangan. Suara yang mereka perdengarkan, menusuk hingga sekat hotel Indraloka Yogyakarta, tempat kami menginap.

Malam itu, masyarakat muslim di penjuru dunia merayakan hari raya kurban atau yang biasa dikenal dengan Hari Raya Idul Adha.

Selamat Hari Raya Idul Adha kepada saudara, kawan dan handai taulan semuanya.


Sengaja, enam orang penggemar fotografi dari Semarang, Solo dan Yogyakarta, sejak Minggu malam hingga Senin 8 Desember 2008, berkumpul. Menunggu datangnya pagi, saat ratusan masyarakat muslim di sekitar kawasan Parangkusumo Yogyakarta melaksanakan Sholat Ied.

Hamparan pasir pantai yang membentang luas menjadi warna beda yang disajikan masyarakat di sekitar kawasan itu.

Eksotik, cantik dan mempesona...ketika ratusan orang tersebut berduyun-duyun membelah pagi di Parangkusumo. Nuansa yang lahir serasa di padang pasir, jauh dibelahan Timur Tengah.

Namun, cuaca yang tidak bersahabat, menjadikan mimpi kami menyaksikan dan mengabadikan tradisi Sholat Ied dihamparan padang pasir Parangkusumo itu buyar.

Sempat beberapa warga mendatangi lokasi tersebut, sebelum akhirnya menyerah pada guyuran hujan. Dan, penggemar fotografi yang sejak pagi menantikan momen tersebut, harus menyerah pula pada kenyataan.

Kawasan Parangkusumo seolah melahirkan romantisme tersendiri bagi penggemar fotografi. Kontur tanah dengan bulir-bulir pasir yang dibawa ombak dan dihempaskan oleh angin, menjadikan kawasan tersebut serasa memiliki energi berbeda.


Departemen Agama setempat menjadikan lokasi di sekitar kawasan itu sebagai arena untuk bermanasik haji.


Beberapa fasilitas dibangun di kawasan yang memang cukup berdekatan dengan Pantai Parangtritis Yogyakarta ini.


Mungkin memang nasib yang harus membawa kami, menyusuri kawasan ini dan berjumpa lagi dengan pemadangan indah di tempat itu tahun nanti.

Selasa, 18 November 2008

Di Balik Bumi Sukolilo, Masihkah Ada Secercah Harapan ?

Rencana investasi senilai lebih dari Rp3,5 triliun PT Semen Gresik, Tbk melalui pendirian pabrik semen di Kabupaten Pati, hingga saat ini boleh dibilang belum berjalan mulus.

Proyek fantastis yang diproyeksikan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kabupaten seluas 150.368 hektare itu, masih meninggalkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Bagi mereka yang mendukung pembangunan pabrik semen yang rencananya akan memilih lokasi lahan di Desa Kedumulyo Kecamatan Sukolilo itu, investasi SG merupakan kabar baik sebagai salah satu solusi mengatasi permasalahan sosial, khususnya masalah pengangguran di wilayah itu.

Namun, bagi mereka yang menancapkan bendera penolakan, berapa pun nilai investasi yang siap digelontorkan, hanya akan melahirkan kesengsaraan, karena hilangnya lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat setempat.

Masalah pro dan kontra satu pembangunan di tengah bergulirnya iklim kebebasan di republik ini adalah hal biasa. Dan, hal itu selalu diagung-agungkan sebagai bagian dari terbentuknya nilai demokrasi.

Namun melihat fakta yang terungkap di lapangan, sangat wajar jika penolakan pembangunan pabrik semen itu bertahan hingga sekarang ini.

Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pati tahun 2007, Kecamatan Sukolilo merupakan daerah yang memiliki areal pertanian terluas di Bumi Mina Tani itu.

Tingkat produksi padi di daerah tersebut mencapai 77.477 ton berupa gabah kering giling (GKG) dengan luas panen 13.336 Ha dari 14.497 Ha luas lahan areal persawahan di wilayah itu.

Sedangkan untuk produksi jagung, produksinya tercatat berjumlah 41.554 ton produksi pipilan kering (PPK), dengan luas panen 6.503 Ha dari total luas tanam 7.662 Ha.

Dua komoditi itu selam ini tingkat produksi terbesarnya disumbangkan dari Sukolilo dan satu lagi Kecamatan Kayen, yang juga masuk dalam peta terdampak pembangunan pabrik.

Melihat data tersebut, mustahil jika Kecamatan Sukolilo ditetapkan sebagai daerah tandus dan kering oleh Pemkab setempat.

Asisten II Bidang Keuangan dan Pembangunan Pemkab Pati Desmon Hastiono saat dikonfirmasi mengenai hal ini mengatakan, Kecamatan Sukolilo yang masuk dalam wilayah Pati selatan merupakan daerah kering yang lebih pas dikembangkan sebagai areal pertambangan.

Selain itu, dia menuturkan sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati, Sukolilo ditetapkan sebagai daerah pertambangan. Meski, rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang RTRW itu belum disahkan.

Jauh di Kota Semarang, sempat tersiar kabar jika analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, hanya mengacu pada data-data sekunder tanpa melihat fakta serta keasrian di lapangan.

Selain itu, Amdal yang disusun Undip tersebut telah berjalan selama satu tahun terakhir. Ini sangat bertolak belakang dengan pengumuman sosialisasi Amdal yang dipasang dan dibaca oleh ribuan warga di Sukolilo, sejak 8 Oktober 2008.

Sosialisasi Amdal itu menyebutkan, masyarakat yang keberatan dan akan memberikan tanggapan terkait pembangunan pabrik semen itu, boleh memberikan masukan paling lambat 30 hari sejak pengumaman itu dipasang atau terakhir diterima pada 8 November 2008.

Dengan kata lain, kalau proses amdalnya sudah berjalan selama satu tahun, berguna buat apakah sosialisasi yang kelewat telat tersebut dipajang mesra di kantor kecamatan.

Toh, seharusnya masyarakat jangan diajari untuk mengungkapkan satu kebohongan publik. dan, pola ini sepertinya yang ingin dimainkan oleh pengambil kebijakan.


Sedhulur Sikep

Salah satu yang menjadi korban dari rencana pembangunan pabrik semen ini adalah masyarakat adat setempat yang lebih dikenal dengan komunitas sedhulur sikep atau masyarakat Samin.

Seorang warga sedhulur sikep mengaku, jauh sebelum isu pembangunan pabrik semen ini berhembus, warga di sekitar wilayah itu hidupnya tenteram.

"Setelah isu pabrik semen ini, warga hidupnya tidak tenang lagi," ungkapnya.

Dari hasil penelusuran, komunitas itu pun saat ini sudah terbelah. Antara yang mendukung dengan yang menolak rencana pendirian pabrik.

Terpecahnya komunitas sedhulur sikep ini, mungkin tidak pernah terbayangkan dalam kurun waktu lima tahun sebelumnya.

Kini, dalam satu kawasan Desa Batureja dengan jarak rumah antara satu pemangku adat dengan pemangku adat lainnya hanya terpisahkan kurang dari 500 meter, aroma perpecahan itu sudah tercium.

Dan inilah, salah satu kehilangan terbesar dari sebuah budaya kapitalisme. Runtuhnya nilai sosial dan hubungan dalam masyarakat.

Kini, semuanya tinggal menunggu waktu.






Kamis, 28 Agustus 2008

Ruang Jazz Bagi Kawula Muda


Beruntung, mungkin boleh dibilang begitu. Saat konser Medco Green Energy Jazz, digeber di pelataran Institut Seni Indonesia (ISI) Surakara, Senin malam lalu.

Kenapa muncul penegasan beruntung, karena siang sebelumnya, Kota Solo sempat basah oleh guyuran hujan.

Jika saja hujan itu terus merembet hingga malam hari, rasanya nuansa kangen yang sudah dipatri oleh sejumlah penggemar musik highly class tersebut, tidak terobati.

Sejak sore berganti gelap, ratusan penggemar jazz yang didominasi kawula muda, sudah menanti penuh sabar aksi Idang Rasjidi and the gangster.

Penonton itu rela duduk lesehan, saling berimpit bahkan ada yang berdiri.

Siapakatau dan Mid Season, membuka sekat panggung malam itu yang ditata dengan apik.

Dua grup jazz Kota Solo yang digawangi kawula muda tersebut, cukup menjadi ajang pemanasan sebelum menuju pentas utama.

Ada pesan moral yang ditampilkan dalam acara tersebut.

"Saatnya musik tidak sekedar dinikmati, tetapi mampu membawa pesan bagi kelestarian lingkungan. Kesadaran lingkungan adalah segala-galanya," ujar Idang Rasjidi mengawali konser berdurasi tiga jam itu.

Dalam kesempatan itu pula, perwakilan Medco Grup, Iwan Ramlan menyerahkan secara simbolis bantaun 5000 bibit pohon kepada pihak ISI Surakarta.

Kalau boleh disebut. Idang Rasjidi rupanya menyimpan sejuta talenta menemukan bakat-bakat muda dalam industri musik jazz Tanah Air.

Konser minus Lea Simanjuntak, yang semula diharapkan hadir itu, tidak lantas berkurang grengnya.

Terbukti sosok Matew Sayers (20 th) dan Sierra (24 th) mampu melakoni perannya secara memukau. Masih cukup muda memang, tetapi gaya, suara dan ekspresi yang dimiliki, menutupi usia mudanya itu.

Catatan khusus untuk Matew, musikalitasnya boleh dibilang mendekati penyanyi kenamaan Tompi.

Entah dalam hitungan berapa tahun lagi, Matew akan segera mengisi blantika musik Indonesia dengan kemampuan vokalnya.

"Hampir tiga tahun saya tidak menggelar konser jazz di Solo," pungkas Idang sembari menguras adrenalin penonton yang larut dalam sajian yang ditampilkannya.




Minggu, 20 Juli 2008

Pancasila Dari Mata Seniman

Ada sebuah ruang gugatan dan pertanyaan serta kritik sosial terhadap perilaku masyarakat di Tanah Air yang dinilai mulai perlahan meninggalkan identitasnya. Masyarakat kita dinilai sudah melupakan nilai-nilai luhur Pancasila.


Degradasi kepercayaan identitas itulah yang mungkin mengilhami sejumlah seniman kawakan di panggung pertunjukan Tanah Air mengusung tajuk konser yang mereka gelar dengan nama Konser Garuda Pancasila.


Sejumlah nama yang turut meramaikan pentas malam itu diantaranya Franky Sahilatua, Sawung Jabo dan Waldjinah. Mewakili nafas seni yang diusung oleh masing-masing personal tersebut, mereka melakukan kolaborasi apik dengan dalang Slamet Gundono yang cukup dikenal dengan komunitas wayang suketnya.


Dalam pertunjukan berdurasi sekitar tiga jam itu, sejumlah seniman itu saling bertukar waktu untuk mengisi dan menghibur ratusan penonton yang memadati gedung teater arena Taman Budaya Surakarta (TBS), Jumat malam pekan lalu.


Sebuah panggung besar dengan dekorasi kepala burung garuda berdiri tegak di tengah panggung, helaian tali putih yang menggambarkan sayap-sayap sang burung garuda mengepak gagah, mengapit arena pertunjukan.


Tepat dibawahnya, dalang berbadan tambun, Slamet Gundono berinteraksi dengan penonton dan sejumlah pemain pengiringnya.


Dalang asal Tegal ini cukup fasih melempar berbagai lelucon yang mengundang gelak tawa diantara kaum hadirin.


Bagaimana dia menuturkan pengalamannya dengan Pancasila yang menggelikan. Mulai dari menyanyikan lagu Garuda Pancasila yang tak pernah tuntas, hingga cara dia mengelabuhi pemimpin pondok pesantren akibat kegemarannya menonton kethoprak hingga larut malam.


Penonton semakin dibuat terpingkal saat Slamet Gundono berkolaborasi dengan Waldjinah yang cukup dikenal dengan lagu Walang Kekek.


“Saya heran, kenapa orang yang gemuk mesti kok suaranya bagus sekali,” ujar Slamet dengan maksud memuji dirinya sendiri.

Mendengar ucapan itu, Waldjinah menimpali. “Aku lemu yo lemu, mung ojo ngantek ngono kui [Aku memang gemuk, tetapi saya tidak mau seperti itu (Slamet Gundono.red)],” tukasnya yang disahut tawa dan tepuk tangan penonton.


Sementara itu, Franky Sahilatua yang dikenal sebagai seorang penyanyi balada mengungkapkan perlunya semua komponen bangsa ini kembali lagi memahami khitah Pancasila sebagai dasar berpikir dan mengambil sikap hidup.


“Kita semua rasanya sudah perlu kembali ke Pancasila,” tuturnya sebelum menyanyikan lagu ciptaannya Pancasila Rumah Kita.


Dalam lagu tersebut, Franky mencoba menggali kembali inti ajaran sila demi sila dalam Pancasila yang tersaji dalam syairnya.


//Untuk semua puji namanya/untuk semua cinta sesama/untuk semua keluarga menyatu/untuk semua bersambung rasa/untuk semua saling membagi//


Pertunjukan tersebut dipungkasi dengan penampilan apik musisi Sawung Jabo. Menurut dia, krisis yang melanda bangsa kita saat ini lebih disebabkan miskinnya cinta yang tumbuh antar sesama.


“Orang Indonesia sulit mempercayai diri sendiri untuk mencintai orang lain,” jelasnya.


Lagi-lagi, dalam frase ini terjadi dialog antara Slamet Gundono dan Sawung Jabo. “Kok kamu sentimen gitu dengar omongan saya,” tanya Sawung.


“Saya heran, orang seperti kamu kok bicara soal cinta,” timpal Slamet yang lagi-lagi disambut gelak tawa penonton.


Dalam akhir pertunjukan, Salmet Gundono sempat mengutarakan maksud dirinya menggelar Konser Garuda Pancasila yang melibatkan sejumlah seniman tersebut.


“Berbagai seniman yang dihadirkan ini untuk mewakili keragaman yang ada di Indonesia, dari sini kita bisa melihat cara pandang masing-masing seniman terhadap pancasila,” pungkasnya mengakhiri konser menawan tersebut.

Selasa, 15 Juli 2008

Berteduh di Taman Sari

Pulang ke kotamu/Ada setangkup haru dalam rindu//Masih seperti dulu/Tiap sudut menyapaku bersahabat/penuh selaksamakna//Terhanyut aku akan nostalgi/Saat kita sering luangkan waktu/Nikmati bersamaSuasana Jogja//

Sepenggal lirik lagi milik grup musik Kla Project yang bertajuk Yogyakarta itu, sejenak menghantar memori saat menginjakan kaki di kota gudeg tersebut.

Terlebih saat berkesempatan untuk melihat secara langsung lokasi yang pernah dijadikan sebagai tempat pembuatan video klip lagu itu di kawasan Water Castle Taman Sari.

Dari rekam sejarah, yang sempat tercatat, Taman Sari lokasinya berada sekitar 400 meter dari Keraton Yogyakarta.

Taman Sari sesuai dengan namanya merupakan taman yang begitu indah, karena dahulu kala tempat ini adalah tempat peristirahatan dan rekreasi Sultan. Pesona taman ini dapat mempesonakan siapa saja yang melihatnya, konon taman sari ini tempat pertemuan sultan dengan penguasa laut selatan Nyi Roro Kidul.

Lokasi ini dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1756 dan selesai pada tahun 1765 dengan mengusung konsep bangunan dan arsitektur memadukan gaya Portugis, Cina, Islam dan Jawa.

Sebagian dari bangunan dan arsitektur dari taman sari itu kini terlihat hancur, hal itu disebabkan oleh beberapa kali terjadi musibah, terakhir saat gempa bumi melanda Yogyakarta Mei 2005 silam.

Tempat ini digunakan untuk berbagai kepentingan, sebagai tempat rekreasi, peristirahatan, persembunyian dan meditasi.

Untuk masuk ke kawasan ini memang tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam, cukup dengan Rp3.000, anda bisa menikmati jengkal demi jengkal peninggalan yang kini masih dijadikan sebagai salah satu herritage Yogyakarta.

Tempat ini biasa dijadikan pula sebagai refrensi tempat untuk pemotretan prewedding atau foto-foto dengan nuansa kuno dan etnik.

Cukup untuk menciptakan nuansa romantisme.




Kamis, 03 Juli 2008

Akhir Penantian KRH Darmodipuro

Gurat kesedihan ataupun rasa kecewa, hampir tidak terpancar dari wajahnya. Berjalan gontai, diapit oleh sejumlah polisi berseragam lengkap, mungkin sudah dirasakan sebagai hal biasa selama waktu delapan bulan terakhir ini.

Dari lekuk kulitnya yang tak lagi merata di usia yang hampir menginjak 70 tahun, adalah sebuah cobaan yang mungkin dirasakannya dengan kejadian itu.

Ya, potret itu terasa lekat ketika saya mencoba merekam sosok KRH. Darmodipuro atau yang akrab disapa Mbah Hadi, Kepala Museum Radya Pusaka Kota Solo.

Museum yang berada di lintas jantung Kota Solo tersebut, sempat mencuat menjadi buah bibir publik, ketika sejumlah arca asli koleksi museum tersebut raib, sementara yang terpampang di museum tersebut diduga arca-arca palsu.

Sedikitnya ada enam arca yang diduga palsu dan nilai yang diperdagangkan diperkirakan mencapai Rp600 juta.

Kasus ini semakin menarik perhatian masyarakat, saat nama pengusaha Hasyim Djoyohadikusumo, adik dari mantan Pangkostrad Prabowo Subianto disebut-sebut terlibat dalam kasus itu.

Drama persidangan pun dimulai. Saksi-saksi yang terkait langsung dengan kasus itu dihadirkan. Drama itu semakin memanas ketika salah satu saksi ahli dari BP3, Lambang Babar Purnomo meninggal dunia. Spekulasi pun semakin menjurus kematiannya terkait dengan rencana kesaksiannya di kasus ini.

Sejurus kemudian, tepat pada hari Senin tanggal 30 Juni 2008, vonis hakim dijatuhkan kepada Mbah Hadi.

Hukuman 18 bulan penjara harus dilalui oleh Mbah Hadi. Vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Ganjar Susilo tersebut, lebih ringan enam bulan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menginginkan hukuman selama dua tahun.

Saat dibawa ke ruang tunggu tahanan seusai persidangan, Mbah Hadi tetap santai dan apa adanya.

Ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan, jawaban yang muncul terkadang memancing tawa di kalangan kuli tinta tersebut.

Bahkan, saat disinggung apakah dirinya akan mengajukan banding atas putusan tersebut atau tidak, Mbah Hadi menjawab enteng.

"Nggak perlu banding-bandingan," ungkapnya.

Sepertinya Mbah Hadi cukup besar hati menerima vonis itu. Dengan demikian, waktu tahanan yang tersisa sekitar delapan bulan lagi, masih akan dijalaninya.

Lalu, apa yang masih menjadi obsesi Mbah Hadi ?

Dia pernah mengutarakan mendapat kabar akan diwawancarai oleh stasiun TV Al Jazeera. Tapi, entahlah, apakah wawancara itu terwujud atau tidak, saya kurang mengetahui.

Lepas dari itu, rupanya dia masih memiliki keinginan membuka praktek ilmu spiritual yang selama ini dijalaninya.

Kemampuan spiritualnya tersebut berupa kemampuan mencarikan hari baik untuk pernikahan ataupun mendirikan rumah, bahkan beberapa hal yang terkait dengan tradisi masyarakat jawa, kemampuan Mbah Hadi cukup mumpuni.

Sebelum sidang, dirinya sempat membagikan pamflet terkait rencana praktek tersebut yang akan dilakukan di sekitar kawasan bangsal Kraton alun-alun utara.

Kini, saat vonis sudah dijatuhkan, Mbah Hadi terpaksa menunda keinginan itu. Mungkin tidak untuk hari ini mbah, mungkin nanti atau lusa, karena waktu cukup sabar menanti kiprahmu kembali.

Sabtu, 28 Juni 2008

Wajah Baru Kanwil Pajak, Eki kok Dipanggil Bapak ya...???

Hari Jumat (27 Juni 2008) lalu, terjadi pergeseran pejabat dilingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) II Jateng yang berpusat di Surakarta.

Pejabat sebelumnya, Eddi Setiadi dipasrahi untuk mengemban tugas baru memimpin Kanwil Pajak di wilayah Indonesia Timur yang meliputi Sulawesi Selatan dan sekitarnya di Makasar. Sementara, pejabat baru di Kanwil DJP II Surakarta dijabat oleh Soerjotamtomo Soedirdjo.

Pisah sambut yang berlangsung secara sederhana tersebut dihadiri oleh beberapa kolega dan rekan kerja dari jajaran kantor tersebut, serta beberapa wartawan yang sering melakukan peliputan di wilayah kantor pajak itu.

Bagi saya secara pribadi, perkenalan dengan Bapak Eddi Setiadi memang belum terjalin lama. Sejak Februari 2008 bertugas di Kota Solo, kesempatan untuk mewawancarai bapak yang satu ini baru satu kali terjadi.

Sepintas, sejumlah terobosan baru memang lahir dimasa kepemimpinan Eddi Setiadi yang kurang lebih berjalan selama 1,5 tahun lamanya.

Peluncuran layanan informasi pajak melalui Interactive Voice Response System (IVRS) bekerjasama dengan PT Telkom Surakarta serta didirikannya lembaga kajian dan penelitian tax center bersama Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, merupakan hasil yang pernah masuk dalam catatan karirnya tersebut.

Dan dalam kalimat perpisahan yang disampaikannya, dia berharap semua yang telah ditorehkan itu mampu memberi energi baru untuk meningkatan pendapatan pajak di lingkungan Kanwil DJP II Surakarta yang masuk dalam jajaran lima besar terbaik di tingkat nasional.

Bahkan, semua hasil yang telah diraih itu, akan coba diterapkan di wilayah kerjanya yang baru dengan menggandeng berbagai lembaga terkait, seperti yang telah dirintisnya selama di Surakarta.

Eki nyamar Jadi Cowok

Catatan diatas hanyalah prolog biasa, karena dalam acara pisah sambut itu, suatu kejadian menggelikan sempat terekam dalam benak saya bahkan dikalangan rekan-rekan pers yang hadir.

Ini gara-gara Eki, Sri Rejeki lengkapnya, wartawan Kompas. Dandanan boleh sebagai seorang wanita, tapi bagaimana asal, sosok ibu yang satu ini saat diminta foto bersama dipanggil bapak oleh sang Master of Ceremony (MC).

"Kepada Ibu Sekar...dan bapak Eki untuk bisa foto bersama," ucap sang MC.

Gubrak....!!!

Sejak kapan kamu jadi macho Ki...?? Tapi, santai aja, emang mereka nggak nyadar kali ama chasing kamu.

Masih untung dipanggil bapak, coba kalo dipanggil Pak De...??

Untungnya lagi nggak nular ke aku, coba kalau aku dipanggil ibu...hmmm....suka deh...!!! halah

Kamis, 19 Juni 2008

Jelang Senja di Cengklik Reservoir

Bagi anda penggila fotografi yang mungkin sempat menyediakan selang waktu khusus untuk melakukan ritual hunting foto, coba sejenak nikmatilah pesona Waduk Cengklik, yang berlokasi di Desa Ngargorejo & Sobokerto Kec. Ngemplak Kabupaten Boyolali.

Lokasinya sangat mudah dijangkau. Jika anda menempuh perjalanan menuju Kota Solo, sebelum masuk ke kota tersebut, putarlah stir kendaraan anda ke arah Bandara Adisoemarmo.

Sebelum masuk ke area bandara itu, anda akan melihat petunjuk arah menuju Cengklik Reservoir, atau tepatnya berbelok ke kiri setelah melewat sebuah jembatan kecil.

Waduk ini memang tidak jauh berbeda dengan waduk-waduk lainnya yang mungkin pernah disinggahi. Puluhan orang yang sedang asyik memancing bisa kita temui disini. Lalu, ada pula nelayan yang menggunakan getek (rakit dari bambu) dengan gagahnya membelah tenangnya air di waduk itu menuju ke titik tengah.

Semuanya layak untuk diabadikan.

Jangan berhenti disitu. Tapi, berjalanlah menuju ke sisi timur waduk, tepatnya di bekas dermaga yang kini jauh dari terawat. Hanya tinggal belulang besi yang masih berdiri kokoh.

Saat anda berdiri disini, puluhan rakit yang terikat ditepi bisa menjadi deretan menarik yang patut masuk dalam daftar bidikan kamera anda. Di titik point ini, anda bisa mengucapkan selamat tinggal pada mentari. Bahkan, jika cuaca sangat cerah, agungnya Gunung Merapi dan Merbabu begitu eksotis.

Keduanya terlihat mesra dan saling berpelukan. Tidak jumawa antara satu dengan lainnya.

Oleh Pemerintah Kabupaten Boyolali, Waduk Cengklik tersebut dijadikan sebagai obyek wisata alam. Tetapi, sentuhan yang muncul, jauh dari kata terawat.

Kalau toh dipungut bayaran untuk masuk ke lokasi itu, tidak lebih semacam pungli yang tidak jelas peruntukannya.

Ya, seperti pada senja kemarin saat saya berkesempatan mengabadikan eksotika Waduk Cengklik , meski dengan segala keterbatasan dan kemampuan fotografi yang saya miliki.

Entah besok atau nanti, atau mungkin hari ini, tak akan pernah bosan untuk kembali menyambangi lokasi ini.



Minggu, 01 Juni 2008

Pelaku Industri....Teriaklah Lantang...!!!!

Pemerintah kembali menetapkan harga bahan bakar untuk sektor industri mengalami kenaikan antara 7,3% hingga 14,6% mulai awal bulan Juni ini.

Sebelumnya pemerintah juga mengumumkan kenaikan harga BBM non industri sebesar 28,7% dua pekan lalu yang hingga kini gejolaknya masih dirasakan, bahkan ditentang oleh berbagai kalangan mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat.

Kenaikan harga BBM bagi kalangan industri kali ini benar-benar pukulan telak. Belum pulih kesadaran mereka dengan melambungnya harga bahan baku serta pemberlakuan sistem intensifikasi/disintensifikasi penggunaan listrik, mereka dihantam lagi dengan kenaikan bahan bakar.

Imbas kenaikan bahan bakar non industri secara serta merta berpengaruh pada melonjaknya ongkos transportasi dan kemungkinan tuntutan kenaikan tunjangan makan dan transport karyawan.

Sepertinya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terlalu lunak menyikapi hal ini. Mereka juga seolah kehilangan akal untuk menolak kebijakan pemerintah yang sebenarnya secara pelan mematikan pelaku industri.

Di Surakarta, Ketua Apindo Surakarta Baningsih Bradach Tedjokartono menyikapi dampak kenaikan harga bahan bakar dengan sikap yang masih terlalu manis.

Padahal, pengusaha secara terang-terangan telah disudutkan oleh manuver-manuver pemerintah yang sangat tidak berpihak pada pelaku industri.

Pemerintah boleh berdalih kebijakan soal BBM untuk menyelamatkan APBN negara dari neraca defisit, tetapi secara tidak langsung pemerintah juga menyulut api goyahnya roda industri di tanah air.

Tidak mengherankan jika berbagai perusahaan yang dulunya pernah berkiprah di Indonesia, memilih mengalihkan investasinya ke negara lain.

Tidak jelasnya kepastian hukum, tipisnya batas keamanan serta tidak kunjung berakhirnya gejolak ekonomi memaksa investor cukup enggan melirik pasar dalam negeri.

Lagi-lagi pemerintah seolah "buta hati", jika pemerintah yakin pelaku industri di tanah air masih mampu mensiasati kondisi berbagai kenaikan ini melalui berbagai efisiensi misalnya, nasib ribuan buruh di tanah air terancam dikandangkan.

Hal ini yang tidak pernah dilihat dengan kacamata bening. Industrinya memang tetap bertahan, tetapi nasib ribuan karyawannya diujung tanduk. Padahal, sejarah pemutusan hubungan kerja bagi kaum buruh di republik ini belum sepenuhnya memperhatikan hak-hak kaum buruh.

Secara pribadi, saya bukanlah orang yang anti pemerintah. Tetapi, berbagai lelucon yang ditawarkan pemerintah akhir-akhir ini, memaksa untuk terus menerus mengkritik kebijakan pemerintah itu.

Pelaku industri tanah air, cukuplah bersabar. Kini saatnya berteriak....!!!

Rabu, 28 Mei 2008

Pemerintah Kurang (Gagal) Mengatasi Kemiskinan

Paskakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga 28,7% akhir pekan lalu, pemerintah telah menyiapkan formula kompensasi bagi warga miskin melalui mekanisme penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Tahap awal penyaluran BLT yang sempat diwarnai prokontra tersebut, dilakukan di 10 kota besar di Indonesia yang diantaranya Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta.

Solo dan sekitarnya ? Tunggu gilirannya deh. Kabar punya cerita bulan Juni ini.

Bagi warga miskin, bantun dari pemerintah ini layak ditunggu, karena program BLT ini memberikan ruang luas bagi warga miskin untuk menerima uang tunai, tanpa harus bekerja keras dengan nilai Rp300.000 per tiga bulan.

Pemerintah mengklaim penyaluran BLT di 10 kota besar itu berjalan lancar dan tepat sasaran. Berbeda dengan penyaluran BLT tahun 2005, kali ini punggawa-punggawa SBY-JK diminta turun ke lapangan mengawasi secara langsung penyaluran BLT itu

Tetapi yang menjadi permasalahan, mengapa pemerintah dalam penyaluran BLT tahun ini mengacu pada data BPS tahun 2005?

Sedangkan validitas data BPS pada penyaluran BLT tahun 2005, banyak diperdebatkan.

Wakil Walikota Solo Hady Rudyatmo mengatakan sedikitnya terdapat selisih sekitar 3.200 warga miskin yang seharusnya berhak menerima BLT tahun 2005, tetapi tidak memperolehnya.

Rupanya pemerintahan SBY-JK cukup pintar menutup "borok" kegagalannya mengatasi permasalahan kemiskinan di republik ini.

Dalih yang dipakai pemerintah, data BPS 2005 sudah tersedia dan dalam waktu singkat dana BLT langsung dapat dibagikan.

Tetapi sebenarnya, pemerintah tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan melihat fenomena kemiskinan yang semakin bertambah hingga tahun 2008 ini.

Angka Rp14 triliun lebih yang disiapkan pemerintah, secara matematis hanya akan mampu diserap sekitar 12 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS).

Padahal, data dari berbagai sumber, jumlah RTS di Indonesia pada 2008 sedikitnya mencapai angka 19,1 juta RTS. Lebih ngeri lagi data yang dilansir partai oposan SBY-JK, PDI-Perjuangan, yang mengeluarkan jumlah keluarga miskin di Indonesia mencapai lebih dari 30 juta kepala keluarga (KK).

Ya, mungkin ini hanya sebagian dari usaha pemerintah memberikan bantuan, sekedar memberikan bantuan - karena tidak mungkin mengangkat mereka dari jurang kemiskinan - dalam upaya memberikan citra positif bagi rakyatnya.

Tapi, sekali lagi, nampaknya penyaluran BLT tahun ini dengan menggunakan data BPS tahun 2005, sebagai upaya membela diri agar tidak dicap gagal dalam mengatasi kemiskinan. Karena sudah barang tentu, jumlah warga miskin di republik ini jauh lebih banyak dari yang sekarang ini digembar-gemborkan lewat penerimaan BLT.

Semoga rakyat bangsa ini tidak diajarkan untuk menjadi kaum pengemis.

Salam untuk republik tercinta.

Rabu, 21 Mei 2008

Mereka Yang Bersidang di Parlemen Jalanan

Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7% pada akhir bulan ini, terus mendapat reaksi penolakan dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat.

Bahkan, penolakan tersebut tak sedikit yang lahir dari kepala daerah maupun anggota dewan perwakilan rakyat.

Di Solo, Wakil Walikota Solo Hady Rudyatmo meneriakan penolakannya terhadap opsi yang dipilih pemerintah pusat dengan menaikkan harga BBM.

Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) M. Fadjroel Rachman secara tegas menyatakan mosi ketidakpercayaannya pada pemerintah SBY-JK.

Bertepatan dengan peringatan 10 tahun reformasi, 21 Mei 2008, mahasiswa di Kota Solo terus menerus menggelar "parlemen jalanan" dengan teriakan lantang menolak kenaikan harga BBM.

Mahasiswa ? Hampir tidak ada kata lelah. Semua seolah bertekad menggagalkan kebijakan tersebut.

Meski mereka terus berjuang dengan dibalut rasa idealisme, banyak diantara masyarakat yang cuek terhadap perjuangan mereka.

Bagi sebagian kalangan, rencana kenaikan harga BBM, masih dianggap hal wajar ditengah fluktuasi ekonomi tanah air dan global.

Tapi tidak untuk kawan-kawan mahasiswa.

Pemerintah pun sudah pasti akan menaikkan BBM akhir bulan Mei ini. Ditengah berbagai desakan dan aksi demo yang menggelora di seantero negeri, pemerintah tak bergeming dan langkahnya pun tak surut.

Kini asa itu terus digantungkan. Selamat berjuang kawan-kawan mahasiswa, meski perjuangan kalian berhasil, sedikit orang yang akan mengenang kalian sebagai aktor penggerak perubahan.

Dan bagi masyarakat, selamat menikmati harga baru BBM, karena pemerintah kita belum mampu menunjukan tajinya ditengah hiruk pikuk penemuan energi alternatif. Seperti biasa, alasannya apalagi kalau bukan soal anggaran...!!!



Selasa, 20 Mei 2008

Kemiskinan, Potret Nyata Semangat Kebangkitan Nasional

Hari ini (20 Mei 2008), tepat 100 tahun yang lalu, kabar punya cerita, tepat lahirnya sebuah organisasi modern di tanah air yang digawangi kaum-kaum pelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan sebagai bagian dari politik balas budi dari pemerintahan in lander Belanda.

Budi Utomo lahir atas prakarsa Dr. Wahidin Sudirohusodo, dengan tujuan membebaskan anak negeri dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan, akibat penjajahan Belanda selama kurang lebih 350 tahun lamanya.

Keberanian organisasi nirlaba merobohkan tembok kapitalisme bangsa Belanda, melecut lahirnya berbagai organisasi lainnya yang ditata dan dikemas layaknya Budi Utomo, sebut saja Serikat Islam, Indiche Partij dan Partai Nasional Indonesia.

Perjuangan organisasi-organisasi tersebut mentas dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh dua tokoh bangsa Soekarno - Hatta.

Kini, 100 tahun berlalu, idealisme Budi Utomo masih sekedar menjadi cita-cita yang menggantung di langit. Cita-cita mulia mensejahterakan rakyat di bumi nusantara, hanya sekedar lipstik pemanis bibir yang sering gampang diucapkan, tetapi sulit dalam prakteknya.

Tengok saja potret kemiskinan di Dusun Lemahbang, Kismantoro, Kabupaten Wonogiri.

Menurut data yang dilansir pemerintah kecamatan Kismantoro, dari 13.373 kepala keluarga (KK) di kecamatan tersebut, hampir 41,4% atau 5.542 KK diantaranya tergolong kategori miskin.

Dusun Lemahbang yang terletak di ujung timur Jawa Tengah ini, sering disebut sebagai wilayah termiskin di Wonogiri, bahkan di Jateng. Begitulah faktanya, ketika saya berkesempatan menyambangi lokasi ini.

Untuk bisa mengakses dusun ini, diperlukan waktu hampir setengah jam perjalanan menggunakan mobil dengan kondisi jalan tanah bergelombang.

Jika musim hujan tiba, dipastikan jalur jalan tersebut akan tergenang lumpur dan sulit dilewati.

Untuk bisa mengakses wilayah perkotaan atau jalur ekonomi terdekat, warga setempat rata-rata terpaksa berjalan kaki dengan jarak tempuh sekitar tujuh kilometer.

Hampir tidak akan kita temukan rumah tembok di daerah ini. Jika pemerintah masih menggunakan acuan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan 14 kategori yang pernah ditetapkan sebelumnya, secara kasat mata warga daerah ini wajib menerima bantuan tersebut.

Lebih parah lagi, dusun tersebut dulunya merupakan daerah endemi penyakit Kretin, jenis penyakit yang disebabkan kekurangan garam yodium akut.

Akibat yang ditimbulkan dari Kretin yakni turunnya tingkat kecerdasan, kelainan syaraf hingga bisu, tuli dan mata juling. Dan penyakit ini mustahil untuk sembuh, kecuali dengan memutus rantai generasinya dengan suplai yodium yang memadai.

Rata-rata mereka yang menderita penyalit Kretin usianya kini diatas 35 tahun, dan sulit untuk diajak berkomunikasi.

Memang 100 tahun telah berlalu. dan 100 tahun dari perjalanan itu, masih saja potret kemiskinan mendominasi isu sosial di tataran masyarakat pedalaman.

Jauh dari informasi, teknologi dan kualitas pendidikan, mereka tetap warga negara Indonesia yang harus memperoleh hak setara dengan penduduk lainnya.

Tidak ada alasan keterjangkauan wilayah, apalagi keterbatasan anggaran, fakta kehidupan seperti ini, nyata adanya di bumi pertiwi.

Semoga seremoni agung Kebangkitan Indonesia yang digelar dengan mahal di stadion utama Bung Karno Jakarta, Selesa malam, mampu membangkitkan semangat anak negeri bangkit dari keterpurukan.

Indonesia Bisa



Minggu, 04 Mei 2008

Ujian Nasional Lagi ? Bocor Deh...!!

Bicara soal pendidikan anak negeri, selalu menarik perhatian bahkan penuh dengan rancak permasalahan yang mengiringinya.

Setelah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk jenjang pendidikan SMU/SMK usai, bersambung dengan masalah baru bahwa UN tersebut diduga terjadi kebocoran. Bahkan di beberapa daerah, guru pengajar dijadikan tersangka yang membocorkan soal tersebut kepada siswanya.

Meski Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bersikukuh bahwa sirkulasi soal UN berjalan dalam pengawasan ketat, fakta di lapangan "bobolnya" soal UN memang begitulah adanya.

Ada yang menilai kadar kebocoran soal dan jawaban yang disebarkan melalui perangkat telepon seluler tidak lebih dari 10% dari total soal yang diujikan. Tetapi, ada pula yang mengatakan jawaban yang dibagikan sama persis dengan yang diujikan.

Mana yang benar, datar sajalah jawabnya...Biarlah Tuhan yang tau...!!!

Usai hiruk pikuk problematika di tingkat SMU/SMK, minggu ini dipastikan akan muncul riuh rendah permasalahan serupa untuk jenjang peserta didik setingkat dibawahnya.

Mulai Senin (05/05/2008) pelajar SMP se-Indonesia "mempertaruhkan" nasibnya dalam arena UN.

Apakah berita carut marut terjadinya kebocoran akan kembali menyeruak ? Nggak rame rasanya kalau tidak bocor.

Mendukung atau tidak adanya UN untuk menentukan kelulusan seorang siswa, saya tidak mau duduk sebagai pesakitan yang ikut berdebat kusir didalamnya.

Zona kualitas pendidikan negeri ini memang masih dikelola apa adanya. daerah perkotaan yang mudah dengan akses informasi, selalu terdepan dalam hal kualitas pendidikannya. Sementara di daerah, selalu dihadapkan pada keterbatasan akses tersebut.

Belum lagi soal gedung reyot, ambruk hingga kesulitan ekonomi lainnya. Cerita dari zaman gaban hingga era Naruto masih saja tak habis untuk mengupasnya.

Buat adik-adik SMP yang besok mengikuti UN, selamat belajar dan selamat menempuh ujian. Ingat, meski kalian tidak lulus bukan berarti kalian bodoh, tetapi memang sistem pendidikan kitalah yang menentukan ketidaklulusan kalian.

Meski tidak lulus, bukan berati langit tiba-tiba runtuh dan menjadi akhir dari semuanya. Masih ada waktu untuk menata itu semua.








Pilgub Jateng 2008, Di Ranah Abu-Abu

Baru-baru ini, saya sempat ditanya oleh seorang kawan. "Kira-kira menurut kamu, siapa yang akan menang dalam Pemilihan Gubernur 2008 nanti ?" tanyanya saat itu.

Terus terang saya bukan seorang ahli nujum, yang bisa menerka peruntungan nasib seseorang dua langkah kedepan dibandingkan dengan saat ini. "Mmmm...sulit diterka," jawaban saya saat itu juga.

Bagi saya, siapapun yang menang dalam kontes tersebut hanyalah soal itung-itungan siapa yang memperoleh suara lebih banyak dibandingkan dengan kontestan lain. Soal kapabilitas, itu urusan belakangan. It's political.

Karena dalam politik hal itu sangat bias. tetap ada unsur politik yang bakalan bermain dibelakangnya, entah untuk mengeruk keuntungan pribadi atau benar-benar dengan tujuan mengabdi.

Sempat bertemu dengan beberapa masyarakat pemilih, rata-rata mereka tidak begitu mahfum dengan lima pasang calon yang bakalan beradu memperebutkan kursi Jateng-1.

Kalau toh mereka mengenal, itu karena bantuan alat peraga gambar calon yang menyesaki jalanan kota. Sekali lagi, soal kapabilitas....i'dont know what you did last summer dech pokoknya...!!

Terus terang, saya benar-benar buta terhadap peta Pilgub Jateng. Mereka yang mencalonkan diri sama sekali bukan tokoh yang benar-benar lahir sesuai harapan publik.

Dua mantan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IV Diponegoro duduk sebagai calon gubernur. Agus Soeyitno diusung PKB dan Bibit Waluyo diusung PDI-Perjuangan. Keduanya pun mengaku tahu karakteristik masyarakat Jateng, sampai akar-akarnya. Kalau soal ketegasan, mungkin keduanya tidak diragukan lagi...secara mantan militer gitu lo...!!

Dua calon lainnya, Sukawi Sutarip diusung Partai Demokrat dan HM. Tamzil yang diusung PPP, keduanya merupakan pejabat bupati dan walikota yang saat ini tercatat masih aktif. Sukawi Sutarip Walikota Semarang dan M. Tamzil, Bupati Kudus. Soal kemampuan pemerintahan, mungkin keduanya lebih berpengalaman.

Satu calon lainnya, Bambang Sadono yang digadang-gadang Partai Golkar, termasuk politisi kawakan Jateng yang kini berkiprah sebagai anggota DPR RI. Ditanya soal kemampuan, saya juga tidak tahu...!!

Kelima pasangan calon tersebut diuntungkan keengganan calon incumbent turut dalam bursa pemilihan. Entah apa alasannya Pak Ali Mufiz ?

Lalu, siapa yang akan tampil sebagai pemenang ? Mengacu pada Pilgub di Jabar yang dimenangkan pasangan kuda hitam Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, tampaknya pemenang Pilgub Jateng baru akan bisa diketahui seusai coblosan itu dilakukan.

Kalau sekarang terdapat survei yang mengunggulkan salah satu calon, inget cing...Agum Gumelar aja keok...padahal hasil surveinya ngeri deh dong...!!

Apakah faktor uang juga akan berbicara...nah ini dia...!!!

Dari hasil penghitungan kekayaan yang diumumkan KPUD Jateng, Sukawi Sutarip memang lebih mentereng. Hampir Rp56 miliar lebih ada dikoceknya dia. Sedangkan calon lain, Agus Soeyitno (Rp9 miliar), Bambang Sadono (Rp3,7 miliar), M. Tamzil (Rp1,4 miliar) dan Bibit Waluyo (Rp2,6 miliar)

Jual beli suara, ya...sepertinya bisa saja terjadi. Indikator kemiskinan di Jateng yang mencapai 21% pada tahun 2007 bisa jadi akan mengubah skenario awal yang diprediksi di awal acara.

Cuman kita berpesan logis, ambil duitnya tapi jangan pilih orangnya. Kalau semua tidak ada yang sreg dihati rakyat, nah lo...!!! Tugasnya para calon gubernur untuk meyakinkan rakyat.

Masih ada waktu 1,5 bulan kedepan bagi kelima pasangan calon ini memamerkan karya sejatinya dihadapan masyarakat Jateng. Bukan lagi soal janji-janji manis yang usang, karena masyarakat sudah kenyang dengan janji.

Lebih dari 25 juta suara potensial bakalan diperebutkan oleh kelima cagub-cawagub tersebut. Siapa yang terpilih, sepertinya akan menjadi ladang baru mengeruk keuntungan suara bagi partai pengusungnya untuk kontes Pemilu 2009.

Provinsi Jateng termasuk salah satu daerah yang menjadi indikator keberhasilan partai dalam setiap kontes pemilu.

Sekali lagi, jangan korbankan rakyat hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan. Apalagi selalu mengatasnamakan rakyat untuk mempopulerkan janji.