Rabu, 03 Oktober 2012

'Ahok' Basuki Mainkan Peran Rudi ?


Perhelatan Jakarta Memilih menetapkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih periode 2012-2017 menggantikan Fauzi Bowo-Prijanto.

Inilah duet baru yang diharapkan mampu menata Jakarta. Ibu Kota yang menawarkan seribu mimpi dengan sejuta persoalan.

Jokowi, putra Solo yang berhasil membangun kotanya selama menjabat sebagai walikota selama 7 tahun hijrah ke Jakarta untuk menjajal tantangan baru. Demikian pula dengan Ahok yang sempat menjadi Bupati Belitung Timur dan anggota DPR, mengusung mimpi yang kurang lebih sama.

Jokowi...Ahok...Ahok...! Menjadi media darling selama perhelatan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Keduanya membuktikan bahwa kekuatan massa-lah penentu hasil akhir. Bukan lagi keroyokan partai-partai.

Kemenangan Jokowi-Ahok menunjukan bahwa dukungan partai tak lantas memuluskan langah seseorang tampil sebagai pemimpin.

Selasa, 18 September 2012

Negara Tanpa Negarawan ?


Bagi saya,  Kamis sore (13/09) di Puri Ratna Hotel Sahid Jaya Jakarta merupakan hari spesial bagi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault. Hari itu, Adhyaksa meluncurkan sebuah buku.

Namun, acara tersebut lebih dari sekedar peluncuran buku. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun ibunda Adhyaksa Dault. Di tengah acara peluncuran bukunya, sebagian tokoh yang masuk dalam daftar undangannya terlihat hadir.

Baris terdepan, duduk bersama dirinya ada mantan Wakil Presiden RI Tri Sutrisno, disebelahnya duduk dengan gagah Ketua Dewan Pembina Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh, bersama Wakil Ketua DPR Pramono Anung.

Masih dalam lingkaran meja yang sama, terdapat tokoh Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang duduknya tak jauh dari kursi sang Ketua Umum Hatta Rajasa.

Setelah Adhyaksa Dault memberi sambutan pengantar peluncuran buku “Menghadang Negara Gagal” yang disampaikan dengan meletup-letup, empat tokoh yang berada satu meja dengan dirinya satu per satu memberi pandangannya.

Senin, 03 September 2012

Raja Asia, Martir Sepakbola Eropa

Presiden UEFA Michael Platini

Bayang-bayang krisis keuangan masih menghantui negara di kawasan Eropa. Analisa yang dirilis lembaga keuangan memperkirakan resesi di negara-negara bermata uang Euro tersebut masih akan berlangsung hingga 2013.

Lembaga keuangan global, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia bakal terkoreksi menjadi 3,5% pada tahun ini dan 3,9% pada 2013. Padahal, publikasi yang dirilis April lalu, IMF masih yakin perekonomian global bertahan di level 3,6% (2012) dan 4,1% (2013).

Turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi ini tak lepas dari berlarutnya penyelesaian krisis utang sejumlah negara zona Euro. Menurut kesimpulan IMF, perbaikan ekonomi dunia akan tergantung dari proses pemulihan Eropa dan Amerika Serikat.

Lesunya ekonomi global ini makin parah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.

Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) yang diharapkan menjadi penyangga perekonomian global, tak kuat menahan beban dan terdampar ke dalam persoalan yang kurang lebih sama.

Jumat, 31 Agustus 2012

Anak Indonesia, Presiden Bongsor, dan Walikota Cungkring

Seremonial peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2012, sedikit beda dari tahun-tahun sebelumnya, meski dari sisi urutan acara masih terkesan itu-itu saja. Faktor pembedanya, pertama puncak pesta anak nasional ini dilakukan pada 29 Agustus 2012.

Jadwal kegiatan ini mundur satu bulan dari peringatan HAN yang jatuh setiap 23 Juli. Alasan padatnya kegiatan Tuanku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi alasan dibalik molornya kegiatan tahunan tersebut.

Kedua tentu yang marak diperbincangkan publik akhir-akhir ini. Presiden SBY sempat mengingatkan sejumlah anak yang tertidur agar bangun, mendengar isi pidatonya saat tengah menyampaikan sambutan. 

Publik lantas meretas ingatan terhadap kebiasaan presiden memberi teguran kepada audiens, ketika dirinya tengah memaparkan persoalan yang menurutnya maha penting.

Lebih dari dua kali, sang presiden pendiri Partai Demokrat ini memberi teguran audiens yang tertidur, antara lain saat menyampaikan pidato peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Juni lalu dan pengarahan di Sekolah Calon Perwira (Secapa) Angkatan Darat di Bandung.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Membatasi Rokok (tidak) Berarti Mematikan Petani Tembakau ?


Gerakan masyarakat sipil maupun negara untuk mengendalikan konsumsi rokok, kerap kali dituding tidak nasionalis karena ditunggangi berbagai kepentingan asing.

Paling populer tentu isu penerimaan dana asing untuk membiayai kegiatann advokasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Selain itu, persoalan yang muncul di permukaan selalu menyebut gerakan mengendalikan rokok berpotensi mematikan industri rokok nasional, termasuk ‘membunuh’ nasib jutaan petani tembakau yang menggantungkan mata pencahariannya dari bisnis tersebut.

Paragraf pembuka  di atas merupakan beberapa hal yang dicermati dan menjadi  titik tolak dalam sebuah diskusi ‘Nasionalisme Pengendalian Tembakau’ yang digelar oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Diantara peserta diskusi yang kebanyakan adalah pelajar dan mahasiswa, menyoroti dua hal, nasib pekerja di industri rokok dan keberlangsungan hidup petani tembakau. Meski tak banyak mengundang perdebatan, soal kelangsungan pekerja dan petani memang kerap dijadikan strategi bagi industri rokok.

Bahkan, ada yang menyebut mengatasnamakan petani tembakau dan nasib ribuan buruh industri rokok merupakan alasan standard perusahaan rokok di seluruh dunia.

Meski demikian, harus diakui pula industri rokok di Indonesia paling jor-joran dalam urusan duit. Ibaratnya, uang yang mereka belanjakan untuk pemasaran maupun berbagai kegiatan tanggung jawab sosial tak berseri jumlahnya.

Mulai dari dana untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, dukungan kegiatan seni dan budaya, sponsor olahraga, maupun kegiatan sosial lainnya, hampir semuanya berlabel nama besar industri rokok nasional.

Sebagai gambaran saja, pada 2010 industri rokok di Indonesia menyumbang tak kurang dari Rp66 triliun ke kas negara melalui cukai rokok. Jumlah pekerja di industri ini pun, hampir mendekati angka 1 juta orang di tahun yang sama.

Namun, Komnas Pengendalian Tembakau mencoba melawan data tersebut dengan meyajikan data bahwa dampak konsumsi rokok sangat membahayakan kesehatan masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut tak kurang dari 85 juta masyarakat Indonesia merupakan perokok aktif. Jumlah ini menempati peringkat ketiga dunia, setelah China dan India.

Selain itu, diperkirakan masih ada 95 juta perokok pasif yang berpotensi terserang penyakit tak kalah bahaya sebagai dampak dari asap rokok.

“Upaya mendorong terwujudnya regulasi pengendalian rokok terutama bagi perlindungan anak, remaja, dan generasi tua. Kalau bicara nasionalisme, justru spirit ini yang harus dilihat sebagai bagian dari rasa nasionalis,” ujarnya.

Data Komnas Pengendalian Tembakau menyebut jumlah perokok usia muda dengan rentang usia 10—14 tahun meningkat tajam hingga 6 kali lipat dalam kurun waktu 12 tahun.
Jumlah perokok di usia tersebut pada 1995 sebanyak 71.126 anak, meningkat menjadi 426.214 anak pada 2007.

“Usia anak mulai merokok paling tinggi rentang 15—19 tahun. Semakin bertambah usia, aktivitas merokok semakin berkurang karena sadar dengan kesehatannya,” kata Fuad Baradja  dari Komnas Pengendalian Tembakau.

Upaya mengendalikan rokok dalam konteks regulasi harus dipisahkan dengan nasib para petani tembakau dan ribuan buruh rokok lainnya.

Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohamad berpendapat dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) Pengendalian Tembakau yang masih dalam tahap finalisasi, tidak disebutkan adanya larangan bagi petani menanam tembakau.

“Tidak ada satu pun negara yang petani tembakuanya ambruk atau mati setelah negara itu menerbitkan aturan pembatasan rokok,” katanya.

Menurut Kartono pemahaman seperti inilah yang perlu disampaikan kepada petani, sehingga mereka tidak mudah termakan isu yang dihembuskan industri rokok.

Petani perlu dibekali pengetahuan bahwa tembakau bukan hanya sebagai bahan baku utama rokok, melainkan dapat dipakai untuk menunjang industri kesehatan, misalnya sebagai protein antikanker, obat diabetes & antibodi, maupun obat luka.

Bahkan, peneliti dari laboratorium bioteknologi Universitas Thomas Jefferson menyebut tembakau dapat dioptimalkan sebagai bahan bakar biofuel yang lebih efisien dibandingkan dengan tanaman pertanian lainnya.

Petani tembakau di dalam negeri setiap tahun sedikitnya menghasilkan produk tembakau sebanyak 180.000 ton, masih lebih kecil dari tingkat kebutuhan yang mencapai 250.000 ton. Namun, itu semua masih diserap industri rokok, belum menyentuh bisnis lainnya.

Pertanyaannya, adakah upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman tembakau ini di luar bisnis ‘asap’ rokok ?

Tulisan ini dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi Jumat 24 Agustus 2012

Kamis, 16 Agustus 2012

Indonesia di 'Gang Senggol' Venice Biennale 2013

Koridor Arsenale (2011)

Venezia, kota di salah satu sudut Italia merupakan pusat tujuan wisata turis dunia. Kota yang terletak di tepi laut Adriatik ini punya julukan khas, The Queen of The Adriatic. Tak sekedar termasyur dengan wisata airnya, Venezia memiliki sejumlah bangunan megah berusia ratusan tahun.

Bangunan-banguna tua tersebut merupakan simbol peradaban masa lalu yang masih terawat, bahkan kerap digunakan untuk menggelar event rutin berskala internasional. Salah satu pesta akbar yang digelar setiap 2 tahun sekali di sekitar Venezia adalah pameran seni kontemporer Venice Biennale.

Venice Biennale tercatat sebagai salah satu ajang mempertemukan ide dan hasil kreasi seni kontemporer dari berbagai belahan dunia paling megah dan paling tua dalam sejarah penyelenggaraannya. Pameran ini pertama kali digelar pada 1895.

Jika dalam dunia olahraga, Venice Bienalle sering disebut sebagai ajang olimpiade para seniman dunia. Disinilah mereka seniman instalasi, pemahat, pelukis, dan seniman video bertemu dalam satu ajang.

Seniman dari berbagai penjuru dunia ini mempertontonkan karya artistiknya dengan tujuan meningkatkan pengetahuan publik terhadap seni kontemporer.

Sekedar untuk memberi gambaran, Venice Biennale ke-54 yang berlangsung pada 2011 diikuti oleh 89 negara dan dikunjungi hampir 450.000 orang termasuk jurnalis dari berbagai belahan dunia. Jumlah pengunjung itu naik hampir 11% dibandingkan dengan penyelenggaraan 2009.

Selama 6 bulan penuh, para pecinta seni kontemporer dimanjakan dengan berbagai karya simbol peradaban manusia saat ini.

“Waktu berkunjung ke sana, saya begitu takjub melihat majunya seni kontemporer. Saya bisa lihat negara-negara seperti Arab Saudi, India, Bangladesh, mereka punya paviliun dan karya yang luar biasa. Di situ saya berpikir, kok kita nggak ada,” ujar Restu Imansari Kusumaningrum, Direktur Bumi Purnati Indonesia.

Bumi Purnati merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang seni pertunjukan, pameran, konsultasi seni, dan produser pameran berskala nasional maupun internasional.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Restu menuturkan dirinya mencoba menggagas hadirnya paviliun nasional Indonesia di ajang Venice Biennale ke-55 pada 2013. Berbagai upaya komunikasi dijalin dengan pihak penyelenggara agar Indonesia hadir di ajang tersebut.

Upaya yang akhirnya berbuah manis, ketika Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah Venice Biennale akan memiliki paviliun resmi yang mengusung seni kontemporer di ajang kelas internasional.

“Syaratnya memang berat, kami harus bolak-balik ke Venezia untuk mengajukan diri agar Venice Bienalle tahun depan ada paviliun Indonesia. Akhirnya diterima, kami lebih terkejut  karena Indonesia akan punya tempat seluas 500 meter persegi di Arsenale,” jelasnya.

Kesempatan berada di koridor Arsenale juga terasa spesial. Arsenale merupakan satu dari dua area pameran utama di Venice Biennale yang tahun depan berlangsung mulai Juni—November.

Ibarat pasar malam, Arsenale dapat diasosiasikan sebagai ‘gang senggol’ yang bakal dikerubuti pecinta seni. Lokasi yang barang tentu diidam-idamkan peserta maupun kolektor seni. Hampir semua karya seni pilihan dari berbagai belahan dunia akan dipamerkan di paviliun Arsenale ini.

Pemerhati seni Carla Bianpoen berpendapat Indonesia sangat beruntung bisa berada di paviliun Arsenale, satu lokasi paling strategis dalam pameran Venice Biennale.

Salah satu yang menarik dari pameran Venice Bienalle ini, katanya hampir seluruh kolektor seni dari berbagai penjuru dunia hadir ke tempat ini. “Tahun lalu, miliuner Rusia Roman Abramovich menyempatkan hadir di sini,” jelasnya.

Roman Abramovich merupakan pengusaha minyak asal Rusia yang juga pemilik klub kenamaan Inggris, Chelsea.

Bumi Purnati Indonesia juga telah mengumumkan 5 seniman Indonesia yang akan mewakili Indonesia dalam Venice Biennale 2013. Mereka antara lain, Alberth Yonathan Setiawan, Sri Astari, Eko Nugroho, Entang Wiharso, dan Titarubi.

Rifky Efendi yang bertanggung jawab sebagai kurator menilai kehadiran Indonesia di paviliun utama tentu harus dibarengi dengan karya seni yang bermutu dari setiap artis yang terlibat.

“Bagaimana kita bisa menjadi beda dari lainnya, karena kita ada di ruang bergengsi,” paparnya ketika menjelaskan hasil pilihan terhadap seniman yang ikut serta dalam pameran tersebut.

Pilihan tentu tak bisa lepas dari unsur subyektifitas. Tapi, terlepas dari  itu kontingen Indonesia yang akan hadir di Venezia menampilkan seniman multigenerasi, kombinasi antara seniman senior dengan seniman muda berbakat.

Tulisan ini dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi 11 Agustus 2012

Selasa, 07 Agustus 2012

Asal Bisa Digergaji, Jadilah Mebel


Masrohan, bapak setengah lusin anak oleh kalangan rekan-rekannya dinilai seorang yang ulet dan tahan banting. Perajin mebel asal Dusun Cangkring Batealit Kabupaten Jepara Jawa Tengah ini kebal dalam segala cuaca.

Sejak 1982, Masrohan menekuni usaha mebel. Saat bisnis mebel mengalami kejayaan, dia juga sempat merasakan manisnya. Meski hanya kepanjangan tangan dari sejumlah eksportir mebel di beberapa daerah sekitar Jepara dan Semarang, setidaknya mebel buatannya mampu merambah pasar luar negeri.

Seiring dengan krisis ekonomi berturut yang menimpa Indonesia (1998), Amerika Serikat (2008), dan disusul Eropa (2011), ditambah regulasi pemanfaatan kayu yang kian ketat, serta sulitnya memperoleh bahan baku kayu berkualitas, kemampuan Masrohan bertahan dengan usaha yang ditekuninya hingga saat ini merupakan sebuah anugerah.

“Kalau pengalaman sudah banyak saya. Pernah kena tipu, mebel yang saya kirim tidak di bayar. Mau gimana lagi, lha wong orangnya juga tidak dibayar dari pembelinya,” ujarnya dalam Bahasa Indonesia bercampur aksen Jawa.

Kerugian yang dialaminya mencapai puluhan juta rupiah. Dia memilih tidak menuntut atau melaporkan kepada pihak berwajib mengenai penipuan yang dialaminya. “Kalau saya lapor polisi, malah bisa keluar uang lebih banyak. Nggak cucuk [imbang.red] dengan kerugiannya,” jelasnya.

Kini, Masrohan tak banyak bermain untuk pasar eskpor. Dia memilih membuat produk untuk memenuhi pasar dalam negeri. Kebanyakan hasil produknya dikirim ke Yogyakarta, Kendal, Semarang, Boyolali, dan sejumlah wilayah di Jawa Tengah.

Produk buatannya seperti meja, kursi, tempat tidur, lemari, dan produk mebel kebutuhan rumah tangga lainnya. Bahan baku kayu yang didapatkan, tak lagi mengandalkan kayu jenis pohon Jati maupun pohon Mahoni.

“Sekarang kayu sembarang. Asal bisa digraji [gergaji] dan dibentuk jadi meja kursi ya saya beli,” katanya. Bahkan, kayu dari pohon Mangga pun ditebang untuk menyiasati kelangkaan bahan baku.
Pilihan yang sudah tak bisa dielakkan lagi.

Semenjak regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), perajin mebel sekelas Masrohan memang tak mudah untuk memperoleh bahan baku kayu dengan standard tinggi. Kalaupun dapat, harganya terlalu mahal untuk dijangkau.

Dia memberi gambaran, harga kayu jati lokal ukuran 1 kubik dengan diameter 20 cm—25 cm berkisar Rp2,5 juta—Rp3,5 juta, sementara kayu rakyat seperti jenis Mahoni, Sengon, maupun lainnya dijual sekitar Rp600.000—Rp700.000 per kubik dengan diameter 20 cm—50 cm.

“Sekarang ini yang penting laku dijual dan pembeli suka. Mau kayunya jenis apa, pembeli nggak peduli,” tuturnya.

Kesulitan bahan baku yang dialami perajin skala rumah tangga seperti Masrohan bukanlah cerita baru. Industri mebel di wilayah Jawa Tengah, seperti di Jepara, Surakarta, Sukoharjo, maupun beberapa lokasi lain menghadapi persoalan yang kurang lebih serupa.

Kecuali pemilik modal besar, kemudahan akses bahan baku ke perajin kecil sepertinya hanya cerita ‘hampa’. Belum lagi, mengenai pola hubungan antara perajin kecil dengan pengusaha yang lebih besar.

Centre for International Forestry Research (CIFOR), lembaga yang bergerak di bidang kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan, dan keseteraan melalui kebijakan dan praktik kehutanan negara berkembang, mencatat kebanyakan perajin kecil mebel tak memiliki posisi tawar kuat.

Peneliti CIFOR Herry Purnomo mengungkapkan sistem ekonomi yang dibangun antarperajin mebel di Jepara saling memiliki keterikatan.

Dalam rantai nilai mebel Jepara, katanya perajin kecil memiliki peran memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi.

“Bahan jadi atau setengah jadi ini dijual ke perusahaan mebel atau pengepul mebel untuk dilakukan finishing. Perusahaan atau pengepul sudah membatasi keuntungan yang diperoleh perajin kecil paling tinggi berkisar 10%,” katanya.

Produk yang disetor perajin kecil ketika sudah menjadi bahan jadi yang siap masuk pasar, selisih dengan harga jual dari tangan perajin berkisar 30%-40%. “Itu sebabnya, CIFOR memberi pendampingan agar perajin kecil ini naik kelas, bukan sekedar membuat produk saja, tapi juga bisa memasarkan,” tuturnya.

Demikian pula dalam memenuhi bahan baku, lembaga tersebut membekali masyarakat petani untuk melakukan penanaman pohon di lahan-lahan yang mereka miliki. Ini merupakan cara menyiasati pasokan kayu untuk kebutuhan industri di masa depan.

Ketua Kelompok ‘Karya Tani’ Sudiharto mengungkapkan inisiatif penanaman pohon yang dilakukan masyarakat merupakan upaya mengembalikan lagi hutan yang telah rusak akibat pembalakan liar, termasuk memenuhi kebutuhan bahan baku mebel di Jepara.

Sudiharto sendiri memilih jenis pohon Sengon Laut untuk ditanam dilahannya. Alasannya, jenis pohon ini relatif mudah dipelihara dan masa panennya yang cepat berkisar 5—6 tahun.

Sejalan dengan kebutuhan kayu bagi industri mebel yang terus meningkat, Sudiharto berharap masyarakat tergerak melakukan kegiatan penanaman dilingkungannya sendiri. Selain menghijaukan area sekitar, kegiatan ini mampu memotong rantai distribusi kayu bagi kebutuhan perajin kecil.

Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat perajin mebel di wilayah ini merata.

Laporan bagian pertama dari acara peluncuran buku 'Pelangi di Bumi Kartini'

Sabtu, 04 Agustus 2012

Mengangkat PFN Dari Liang Lahat


Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN) yang menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah nyata-nyata mati tapi belum sempat dikubur, memiliki rantai sejarah panjang dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Entitas ini merupakan perintis lahirnya karya film besar di Tanah Air pada masanya. Dari berbagai literatur, munculnya perusahaan ini berawal dari pendirian perusahaan film yang bernama Java Pasific Film (JPF) oleh Albert Ballink pada 1934.

Kelahirannya tersebut bersamaan dengan pembentukan gabungan bioskop Hindia dan film commisie yang menjadi cikal bakal lahirnya Lembaga Sensor Film. Selanjutnya, pada 1936 perusahaan ini mengubah namanya menjadi Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).

ANIF  memfokuskan diri pada pembuatan film cerita maupun dokumenter. Kedatangan Jepang sekitar 1942 membuat ANIF ikut terkena imbasnya. Sejalan dengan pendudukan Jepang, ANIF berubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha dengan kekhususan memproduksi tayangan untuk propaganda politik Jepang pada masa itu.

Memasuki masa kemerdekaan, Nippon Eiga Sha diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Sejalan dengan itu, para karyawan yang bekerja melakukan berbagai peliputan perisitiwa sejarah yang terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia.

Setelah era itu, perusahaan ini masih kerap berganti-ganti nama, dari mulai Perusahaan Pilem Negara (PPN) pada 1950, lalu saat melewati penyempurnaan ejaan berganti menjadi Perusahaan Film Negara (PFN).

Atas pertimbangan keuntungan dan perusahaan berjalan secara profesional, namanya berubah lagi menjadi Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN).

Jalan panjang PFN dengan berbagai pasang surut kegemilangan, kini berlabuh di tangan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

PPA merupakan perusahaan negara yang dibentuk dengan tujuan sebagai katalis meningkatkan nilai atau menyehatkan perusahaan maupun BUMN agar mampu tumbuh secara berkesinambungan.

Masuknya PFN dalam pengelolaan PPA karena kondisinya yang sudah tak lagi sehat itu. kegemilangan PFN yang melahirkan tokoh perfilman besar Indonesia seperti Usmar Ismail, memang tinggal kenangan.

Berdasarkan informasi dari situs PPA, perusahaan film ini memasuki tahap proses tindak lanjut untuk restrukturisasi dan revitalisasi bersama beberapa perusahaan lain.

Dengan kata lain, PFN yang melegenda dengan film anak-anak si-Unyil masih punya asa melanjutkan hidup setelah melalui tahapan restrukturisasi maupun revitalisasi.

Pertanyaan berikutnya, kalau pun masih mampu bertahan hidup setelah disehatkan, siapa yang akan mengambil alih PFN ?

Pak Dis, panggilan Dahlan Iskan mengisyaratkan PFN akan diakuisisi oleh sesama badan usaha milik negara (BUMN). Tentu pertimbangan tersebut atas dasar sinergi BUMN yang selama ini didengungkan pemerintah, termasuk mengacu pada UU BUMN No.19/2003.

Restrukturisasi memang bertujuan meningkatkan kinerja BUMN dan menghasilkan produk layanan dengan harga kompetitif. Selain itu, salah satu maksud restrukturisasi untuk memudahkan BUMN melaksanakan privatisasi.

Mengacu pada pasal 78 UU BUMN, terdapat tiga mekanisme privatisasi perusahaan negara. Pertama melakukan penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, kedua melakukan penjualan langsung kepada investor, atau ketiga menjual saham kepada karyawannya.

Ketentuan penjualan langsung kepada investor inilah yang tengah dipertimbangkan oleh Nexus, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang risk mitigation & strategic communications. Perusahaan swasta ini rupanya menaruh minat menyelamatkan PFN.

Ditemui disela acara buka puasa bersama 500 anak yatim piatu di sebuah hotel berbintang Jakarta Kamis (26 Juli 2012), Komisaris Nexus Jenny Rachman menjawab singkat pertanyaan yang diajukan Bisnis mengenai rencana menyelamatkan PFN tersebut.

Insya Allah, mohon doanya saja,” kata Jenny Rachman. Jenny Rachman merupakan artis senior yang memiliki pengalaman panjang dalam perjalanan film Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Aktor dan Aktris Film Indonesia (PARFI) periode 2006—2010.

Keterangan mengenai keseriusan perusahaan itu menyelamatkan PFN dari ‘kematian’ disampaikan lebih lanjut oleh Firsan Nova, Managing Director Nexus. Menurut Firsan, PFN merupakan aset negara yang selama ini tidak optimal pengelolaannya.

“Sebagai orang yang ada di industri film, Bu Jenny [Jenny Rachman] melihat bahwa PFN bisa dioptimalkan. Sekarang ini industri film makin berkembang luas,” ungkapnya.

Firsan memang belum menjelaskan secara detil bagaimana keterlibatan Nexus ke depan dalam menyelamatkan dan mengembangkan BUMN film ini.

Sejauh ini, pihaknya baru sebatas menyiapkan konsep tertulis pengelolaan PFN. “Masih konsep, belum kami bawa kemana-mana. Kami hanya berpikir, ini akan menjadi investasi yang baik ke depan apabila kita terlibat dalam pengelolaannya,” tambah Firsan.

Kemungkinan Nexus memang hanya akan terlibat dalam mengelola PFN, tidak mengambil alih secara penuh perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, dia tengah mempertimbangkan berbagai regulasi dalam Kementerian BUMN yang dapat dijadikan acuan keterlibatan swasta mengelola perusahaan negara.

“Kalau dikelola swasta sepertinya masih memungkinkan, kalau kami take over PFN rasanya tidak. Konsep ini masih kami matangkan, setelah itu baru kami bawa ke PPA karena sekarang ini PFN ada di sana. Apakah swasta boleh terlibat atau tidak, sampai saat ini kami belum tahu persis,” jelasnya.

Dia menggarisbawahi bahwa Nexus siap menyegarkan pengelolaan di tubuh PFN, termasuk menghadirkan peralatan dan teknologi terkini untuk mendukung kegiatan perusahaan sehingga berjalan kompetitif. Adakah malaikat lain yang akan mengangkat PFN dari liang lahat ?

Tulisan ini pernah dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi Sabtu 4 Agustus 2012

Senin, 30 Juli 2012

Jurnalis di Jalur Musik Religi


“Sejak awal saya menegaskan bukan musisi. Jalan kesenian di musik ini hanya satu dari sekian banyak jalan yang saya tempuh untuk mendakwahkan Islam yang cinta damai, pro-persaudaraan, dan menghargai kebebasan beragama,”

Kalimat ini terlontar dari Candra Malik, pria asli Solo kelahiran 25 Maret 1978. Bagi sebagian kalangan, namanya mungkin terdengar samar. Tapi, mereka penonton setia tayangan Humor Sahur yang disiarkan salah satu televisi swasta selama Ramadan tahun ini, nama Candra Malik mungkin mudah diakrabi.

Berpasangan dengan seorang penulis, motivator, dan budayawan Prie GS, setiap pagi dini hari pukul 02.30 Wib, dia hadir mengupas sejumlah topik diskusi dengan gaya ringan, menghibur, tanpa ada kesan menggurui.

Sejatinya Candra Malik bukanlah musisi, apalagi host sebuah acara televisi. Sebagai seorang muslim, dia memilih ajaran sufi yang diperdalamnya sejak 1992 atau sekitar 20 tahun terakhir.

Entah bisikan seperti apa yang berhembus di telinganya, sampai akhirnya pada pertengahan Juli 2012 dia mengeluarkan album musik religi Kidung Sufi berjudul 'Samudera Cinta'. Album pertama yang secara tak sengaja pula tiba menjelang datangnya Ramadan.

Candra Malik enggan menyebut album musik pertamanya ini sengaja hadir untuk memuliakan bulan suci. “Kalau ada dukun tiban, maka saya ini penyanyi tiban. Saya sama sekali tidak punya latar belakang sebagai penyanyi apalagi mengenal seluk-beluk musik,” katanya.

Semua proses yang dilalui, lanjutnya mengalir begitu saja sejak proyek album ini dimulai pada September 2011. Penggarapan lirik dan musik 12 lagu yang ada di album Samudera Cinta tersebut dilaluinya dengan mudah hingga proses rekaman pada Februari 2012.

Ada kesan menarik dari perjalanan hidup Candra Malik yang punya latar belakang unik. Lahir sebagai anak seorang kyai, dia pernah menekuni pekerjaan sebagai seorang jurnalis, profesi yang melekat dan ditekuninya sejak 1999.

Dia menjadi wartawan sebuah koran dengan jaringan surat kabar terbesar di Indonesia sejak 1999—2006. Posisi terakhir  yang pernah diembannya sebagai kepala liputan.

Lepas dari kelompok media tersebut, dia memilih hijrah ke Solo untuk mendirikan sebuah bisnis kafe dan menjadi penulis lepas di berbagai media massa nasional. Entah bisikan seperti apa lagi yang datang, bisnis kafe ditinggalkan dan memilih kembali ke Jakarta sekitar 2—3 tahun silam.

Sadar dibesarkan oleh dunia jurnalistik, Candra Malik tak pernah punya niat melepas statusnya tersebut.

“Sejak membuat album musik religi ini, sudah 8 bulan lebih saya tidak menulis. Konsentrasi memang masih di album baru. Kalau sudah ketemu ritmenya, saya pasti akan kembali menulis. Saya tidak akan melepas profesi sebagai wartawan,” katanya.

Sebagai penganut muslim yang taat, dia yakni saat ini dirinya tengah diutus untuk memilih jalan bermusik sebagai media dakwah. Sama halnya ketika dia memilih jalan menekuni profesi wartawan maupun membangun bisnis kafe.

Datang sebagai debutan, album musik religi Candra Malik ini boleh dibilang fenomenal. Nama musisi beken terlibat dalam penggarapan album ini, seperti Addie MS (Twilite Orchestra), Dewa Budjana (gitaris GIGI), Tohpati, Trie Utami, Hendri Lamiri, dan Marzuki Mohamad Kill The DJ (Jogjakarta Hip Hop Foundation).

Musisi lain seperti Idris Sardi, Dik Doank dan Komunitas Kandangk Jurang Doank, John Paul Ivan (mantan gitaris Boomerang), dan Heru Wahyono (Shaggydog). Dari barisan seniman terdapat nama Ahmad Mustafa Bisri (Gus Mus), Emha Ainun Nadjib, dan Sujiwo Tejo.

Sejak proses ide, Candra Malik memilih untuk menarik garis tegas antara religi dan kultur. Dua hal yang menurutnya harus dipisahkan dan tak dapat dicampur aduk.

Dalam hal ini, dia ingin menggarisbawahi bahwa Islam tidak selalu sama dengan Arab, demikian pula Arab tidak selalu sama dengan Islam.

“Sebab itu album ini tidak berirama padang pasir. Justru dalam album ini muncul sejumlah genre musik, mulai dari klasik, jazz, pop rock, ska, rap, dan suluk wayang kulit,” tuturnya.

Bapak tiga anak ini mengedepankan sisi pluralisme dari album musik religi yang dibuatnya. Pilihan melibatkan multigenerasi musisi dengan berbagai latar belakang keyakinan dan aliran musik dengan pertimbangan menyatukan khazanah dan kekayaan musik itu sendiri.

Meski album ini kental bernafaskan Islami, dibalik penggarapan terdapat nama Dewa Budjana yang penganut Hindhu atau John Paul Ivan-mantan gitaris band Boomerang- yang merupakan pemeluk Nasrani.

Demikian pula dalam memilih lirik lagunya. Seluruh lagu dalam album ini memakai bahasa Indonesia. “Terus terang saya tak bisa meninggalkan Al-Quran karena itu merupakan sumber inspirasi. Tapi saya memilih ayat pendek yang populer. Ayat yang orang awam mudah mengerti dan hapal di luar kepala,” ungkapnya.

Inilah pesan moral dari Kidung Sufi, membawa lantunan dakwah bernafas cinta damai dan pluralisme. Pesan khusyuk yang tak hanya lahir di kala bulan suci seperti saat ini, melainkan pula sepanjang bulan dan tahun dalam konteks membangun kehidupan berbangsa yang beragam.

“Kalau ada yang memperjuangkan Islam dengan jalan kekerasan, saya minta ijin untuk memperjuangkan dengan jalan kelembutan,” tutupnya.

Tulisan ini dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi 28 Juli 2012

Sabtu, 21 Juli 2012

Sampul Surat Untuk Sang Presiden


Suhari dan koleksinya

Panggilan singkatnya Pak Hari, nama panjangnya Suhari. Usianya memasuki 52 tahun, namun semangat menjalani hobi yang ditekuninya masih menyala-nyala. Hobi yang tergolong ‘wah’ untuk seorang petani seperti dirinya.

Boleh disebut ‘wah’ karena Pak Hari mempunyai kegemaran dengan filateli atau hobi mengoleksi perangko dan benda pos. Tak sedikit yang memandang filateli merupakan kegemaran kaum berada. Meski, sejatinya hobi ini bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal kasta.

Menekuni filateli tak sekedar butuh ketelitian dan presisi, namun perlu juga wawasan tinggi. Bicara filateli sama saja mendiskusikan sejarah. Ada cerita panjang di balik lahirnya sepucuk sampul surat maupun selembar perangko.

Dan, Pak Hari yang sehari-hari bertani di Pontianak Kalimantan Barat termasuk yang ingin mengupas keping demi keping cerita sejarah itu.

“Saya punya hobi seperti ini malah ada yang mengira orang gila. Ada yang bilang ngapain juga aneh-aneh ngumpulin benda-benda seperti itu. Hobi seperti ini biasanya identik dengan orang kaya, lah saya cuma petani,” ujarnya.

Koleksi benda pos yang paling dijaga Pak Hari hanyalah sekumpulan sampul surat. Sekilas, sampul surat itu biasa saja. Beberapa diantaranya merupakan sampul surat polos dengan perangko yang harganya tak lebih dari Rp1.500.

Ada beberapa koleksi sampul surat Pak Hari memiliki tema khusus. Biasanya, sampul tema khusus ini merupakan hasil kreasi dirinya dengan beberapa rekan komunitas filateli di Pontianak, saat daerah itu menggelar hajatan besar.

“Misalnya ada hari ulang tahun pemerintah daerah, kami buat desain sampul yang sesuai dengan tema. Kita cetak lalu di launching bertepatan dengan acara tersebut. Pinter-pinter kita sajalah membuat kegiatan dengan teman-teman filatelis,” kata pria yang lahir di Yogyakarta ini.

Sampul surat biasa, di tangan Hari berubah menjadi luar biasa. Itu karena sebagian besar koleksi sampul surat miliknya memiliki tanda tangan tokoh nasional maupun pejabat daerah. Semua koleksi tersebut rapi tersimpan dalam beberapa album.

Sejumlah tokoh yang secara khusus membubuhkan tanda tangan dalam sampul surat koleksinya, antara lain mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dan mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.

Nama lain yang tanda tangannya tertinggal di sampul surat miliknya seperti M. Nuh saat masih menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), termasuk tanda tangan menteri penggantinya saat ini, Tifatul Sembiring.

Ada pula nama Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kalbar 2001 Nurudin Usman. “Ada kisah menarik setelah saya dapat tanda tangan Pak Kapolda ini. Saya jalan kemana-mana saya dikawal sama polisi,” katanya terbahak.

Saat berlangsung kegiatan Festival Penyanyi Lagu Melayu ke-2 Tingkat Nasional 2011 yang berlangsung di Kalbar, Pak Hari juga berhasil mendapatkan sampul surat yang ditandatangani langsung oleh Direktur Utama Radio Republik Indoneia (RRI) Rosarita Niken Widiastuti.

Lantas, bagaimana ceritanya dia bisa mendapatkan tanda tangan langsung dari BJ. Habibie dan Bill Clinton ?
Awalnya, Pak Hari hanya mengirim selembar surat permohonan kepada Presiden BJ. Habibie untuk menandatangani sampul surat yang akan dikirimnya. Kejadian ini berlangsung sekitar 1998.

Surat permintaan itu dikirim ke Jakarta hanya dengan alamat singkat yang ditujukan ke Presiden Habibie di istana negara.

“Saya nggak tau alamat persisnya. Ya sudah, cuma saya tulis kepada presiden dengan alamat istana negara. Saya terkejut, ternyata surat saya dibalas. Di dalamnya sudah ada sampul surat bergambar Pak Habibie, lengkap dengan perangko dan tanda tangan,” kenangnya.

Sejak peristiwa inilah, Pak Hari kian bersemangat memburu tanda tangan sejumlah tokoh besar.
Demikian pula saat berkorespondensi dengan Presiden AS Bill Clinton. Dia meminta tolong rekannya yang mampu berbahasa Inggris untuk menuliskan sepucuk surat yang ditujukan ke Clinton.

Hanya menuliskan nama Bill Clinton dengan alamat tujuan gedung putih, surat berbiaya perangko kiriman Rp12.000 tersebut terbang ke Negeri Paman Sam.

“Ternyata memperoleh balasan. Uniknya, balasan Presiden Clinton malah pakai bahasa Indonesia. Didalamnya ada kartu namanya juga. Sampai sekarang sampulnya masih ada, kalau isi suratnya sudah hilang,” jelasnya.

Kini, tokoh negeri yang tengah dinanti berkenan membubuhkan tanda tangan di sampul surat miliknya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sudah beberapa kali, dia mencoba mengirim surat beserta sampul yang terbungkus didalamnya untuk sang presiden.

Hanya saja, sampai sekarang jawaban lewat goresan tanda tangan itu tak kunjung tiba. “Mungkin diperiksa dulu sama ajudannya. Tapi saya nggak akan menyerah. Saya masih mikir kira-kira sampul apa yang pas dengan kesukaan beliau,” tuturnya.

Terlahir sebagai seorang petani, Suhari memang kerap dipandang sebelah mata terutama saat membicarakan masalah tingkat pendidikan. Namun, itu semua yang membuat niatnya terus maju dengan semangat menyala-nyala.

Tulisan ini sudah terbit di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi Sabtu 21 Juli 2012

Jumat, 20 Juli 2012

Nyiapin Dana Pensiun, Nggak Usah Nunggu Tua




Setiap orang yang ditakdirkan bekerja sebagai karyawan atau pegawai tentu akan memasuki masa pensiun. Pilihan hidup yang tak dapat dihindari karena faktor usia.

Memasuki pensiun bukan sekedar menanggalkan pekerjaan dan jabatan. Sebagai pensiunan kita juga harus rela kehilangan sebagian pendapatan bulanan kita.

Sesiap apa kita menghadapi pensiun, jawabannya  ada pada buku Pensiun Gaul Tujuh Langkah Menyiapkan PHK, VRP, dan Pensiun yang ditulis oleh Tessie Setiabudi dan Joshua Maruta.

Buku ini menyajikan kiat bagi karyawan maupun pegawai yang menuju masa pensiun. Bagaimana menyiapkan psikologi, mental, dan perubahan gaya hidup yang akan dihadapi. Buku ini juga membagikan kiat mengelola keuangan dan memilih investasi yang tepat saat pensiun.

Dengan kata lain, saat memasuki pensiun bukan berarti kita hanya berdiam diri dan mengandalkan uang pensiunan bulanan atau pesangon perusahaan. Harus ada 'action' agar dana pensiun yang kita peroleh mampu berkembang dan  kita mampu menikmati kebebasan finansial di hari tua.

Buku yang layak dibaca bagi siapa saja, tak hanya bagi karyawan yang tengah menuju tahap masa pensiun. Melainkan bagi karyawan atau pekerja yang masih berkarir di usia muda. Menyiapkan strategi keuangan menuju pensiun itu tak harus menunggu sampai tua. Mulailah dari sekarang juga.