Senin, 03 September 2012

Raja Asia, Martir Sepakbola Eropa

Presiden UEFA Michael Platini

Bayang-bayang krisis keuangan masih menghantui negara di kawasan Eropa. Analisa yang dirilis lembaga keuangan memperkirakan resesi di negara-negara bermata uang Euro tersebut masih akan berlangsung hingga 2013.

Lembaga keuangan global, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia bakal terkoreksi menjadi 3,5% pada tahun ini dan 3,9% pada 2013. Padahal, publikasi yang dirilis April lalu, IMF masih yakin perekonomian global bertahan di level 3,6% (2012) dan 4,1% (2013).

Turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi ini tak lepas dari berlarutnya penyelesaian krisis utang sejumlah negara zona Euro. Menurut kesimpulan IMF, perbaikan ekonomi dunia akan tergantung dari proses pemulihan Eropa dan Amerika Serikat.

Lesunya ekonomi global ini makin parah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.

Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) yang diharapkan menjadi penyangga perekonomian global, tak kuat menahan beban dan terdampar ke dalam persoalan yang kurang lebih sama.



China yang melesat sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia diperkirakan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2012. Ekonomi negeri Tirai Bambu diperhitungkan hanya tumbuh 7,5% dibandingkan dengan kuartal I/2012 sebesar 8,1%.

Demikian pula dengan India yang hanya tumbuh 5,3% di kuartal I/2012, Brasil tumbuh 0,2% dan Rusia sebesar 4,9% selama kuartal I/2012.

Hantaman krisis keuangan Eropa ini rupanya berimbas pada geliat industri sepakbola benua biru. Sejauh ini, Eropa dikenal sebagai kiblat sepakbola dunia. Hampir seluruh pemain terbaik dengan skill mumpuni berkumpul di liga-liga tenar, seperti Spanyol, Inggris, maupun Italia.

Sejak krisis berlangsung, klub kaya Eropa tak lagi jor-joran dalam urusan belanja pemain. Otoritas sepakbola tertinggi Eropa (UEFA) menyebut belanja pemain klub Eropa tak kurang dari US$2,2 miliar atau sekitar Rp21,01 triliun menuju musim kompetisi 2012/2013.

Jumlah tersebut tercatat paling rendah dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Rata-rata nilai transfer pemain selama 2008-2011 tercatat sebesar US$2,83 miliar atau sebanding Rp26,95 triliun.

Nilai itu baru sebatas transfer pemain musim panas atau transfer window sesi pertama. Eropa mengenal 2 sesi pembelian dan penjualan pemain yang dilakukan saat musim panas menjelang kompetisi bergulir dan musim dingin ketika jeda kompetisi berlangsung.

Laporan UEFA menyebut perlambatan lalu-lintas pemain terlihat sejak Januari 2012. Nilai transfer pemain di tengah jeda musim kompetisi hanya sebesar US$494,25 juta atau Rp4,71 triliun. Nilai ini turun hampir 36% dibandingkan dengan periode yang sama pada Januari 2011.

Presiden UEFA Michael Platini mengatakan pihaknya mulai mengatur secara ketat pengelolaan keuangan klub Eropa untuk menciptakan sistem yang lebih seimbang di antara klub dan mengurangi tekanan gaji maupun biaya transfer pemain.

"Tujuan kami jelas, memperkenalkan kepada klub agar mengelola keuangan dengan rasionalitas dan tidak membiarkan setiap klub menghabiskan uangnya lebih dari yang mereka peroleh. Ini untuk melindungi kelangsungan klub dan sepakbola jangka panjang," ujarnya seperti dikutip dari situs resmi UEFA.

Krisis keuangan dan regulasi UEFA ini membuat klub kaya tak lagi leluasa mengeluarkan uang untuk membeli pemain. Kebijakan yang akhirnya berimbas pada menyusutnya jumlah pemain yang dibeli dengan harga di atas US$18 juta.

UEFA mencatat lalu-lintas transfer pemain dengan banderol harga di atas US$18 juta selama transfer musim panas sebanyak 18 pemain atau lebih kecil dibandingkan dengan musim lalu 26 pemain, maupun rekor 33 pemain yang pernah dicatat pada musim 2009.

Jika seluruh transaksi pembelian pemain selama musim panas dan musim dingin tahun ini digabung, nilai belanja klub Eropa mencapai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp24,75 triliun. "Nilai tersebut hanya 75% dari rata-rata transfer musim 2008-2011," ungkap Sekretaris Jenderal UEFA, Gianni Infantino.

Investor Penyelamat

Meski terlihat lesu, beruntunglah sepakbola Eropa masih menjadi tontonan paling digandrungi manusia sejagad raya. Turunnya nilai transaksi pemain, tak membuat geliat industri sepakbloa Eropa memudar. Sepakbola Eropa tetap menjadi magnet, bahkan menjadi ruang investasi menggiurkan bagi para miliuner.

Semisal, kepada siapa sepakbola Eropa patut menyampaikan rasa terima kasih, maka deretan miliuner nun kaya-raya dari Rusia dan kerajaan Asia-lah yang perlu 'dicium' tangannya. Mereka rela menggelontorkan uang hingga triliunan untuk mengambil-alih klub sepakbola di benua biru.

Sebut saja, imperium yang dibangun Roman Abramovich, taipan minyak Rusia yang mengendalikan klub Liga Inggris Chelsea sejak 2003. Sosok inilah yang mengawali berbagai rencana 'gila' industri sepakbola Eropa.

Meski tak seagresif  seperti di 2-3 musim pertamanya bersama Chelsea, Abramovich mampu mengubah peta sepakbola Eropa. Dia seolah membuktikan dengan kekuatan uang yang nyaris tanpa seri, kejayaan sepakbola Eropa bisa digenggamnya.

Ketika era-Abramovich memudar, giliran berikutnya raja-raja Asia asal Timur Tengah yang mencoba menguasai Eropa lewat sepakbola.

Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan yang mengendalikan kelompok bisnis Abu Dhabi United Group datang dengan modal kekayaan hampir US$1,05 triliun atau sekitar Rp10.000 triliun untuk mengambil alih klub Inggris, Manchester City.

Gelontoran dinar Sheikh Mansour menyulap The Citizens menjadi salah satu klub bergelimang harta dengan talenta terbaik dunia. Hasilnya, gelar jawara Liga Inggris berhasil digenggam musim lalu dan kiprahnya mulai diperhitungkan di kancah Eropa.

Sheikh Mansour mengambil alih City dari Thaksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand dengan harga sekitar US$318 juta.

Paling gres, tentu kiprah Nasser Ghanim Al Khelaifi, pemilik perusahaan investasi Qatar Investment Authority (QIA). Bermodal kekayaan bersih US$60 miliar atau sekitar Rp571,8 triliun, Nasser Ghanim  mengambil alih 70% saham klub Perancis, Paris Saint Germain (PSG).

Hanya dalam kurun waktu 2 tahun sejak pembelian PSG, mantan pemain tenis profesional Qatar tersebut telah mengikat 16 pemain baru dengan belanja yang digelontorkan mencapai US$323,21 juta atau sekitar Rp3,08 triliun.

Miliuner Asia Tenggara asal Malaysia, Tan Sri Tony Fernandes juga tak ketinggalan dalam urusan membeli klub sepakbola. Berkantong modal US$230 juta atau sekitar Rp2,91 triliun, Tony Fernades menyisir Liga Inggris.

Pemilik perusahaan penerbangan Air Asia yang baru saja mengambil alih maskapai penerbangan nasional, Batavia Airlines, berupaya meramaikan persaingan untuk 'menerbangkan' klub semenjana anggota Liga Inggris, Queen Park Rangers (QPR).

Bahkan, Liga Spanyol yang dikenal dikendalikan oleh pemilik loyalis pun tak sanggup menampik tawaran investor dari jazirah Arab. Salah satu klub anggota La Liga, Malaga, saat ini dikendalikan oleh Sheikh Abdullah bin Nasser bin Abdullah Al Ahmed Al Thani, penerus kerajaan bisnis Doha Bank.

Syeikh Abdullah membeli Malaga pada Juni 2010 dengan harga US$45,27 juta. Klub tersebut musim lalu berhasil finish di peringkat empat, setelah diperkuat sejumlah pemain tenar lewat gelontoran dana segar.

Paling ditunggu saat ini adalah nasib klub Liga Italia. Badai krisis yang juga menghantam klub sepakbola Italia memaksa para pemilik klub untuk mencari tambahan dana segar. Klub kaya AC Milan milik raja media dan mantan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi kabarnya tengah melakukan negosiasi dengan investor.

Lagi-lagi, 'raja' dari Timur Tengah yang santer dikabarkan bakal membeli Milan.

Tak bisa dipungkiri, saat krisis keuangan yang masih mengancam Eropa, kehadiran pemilik klub baru dari tanah Asia mampu menyelamatkan klub-klub Eropa dari jurang kebangkrutan. Ini barangkali yang membuat sepakbola Eropa tetap seksi di tengah ancaman resesi.

Tidak ada komentar: