Selasa, 18 September 2012

Negara Tanpa Negarawan ?


Bagi saya,  Kamis sore (13/09) di Puri Ratna Hotel Sahid Jaya Jakarta merupakan hari spesial bagi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault. Hari itu, Adhyaksa meluncurkan sebuah buku.

Namun, acara tersebut lebih dari sekedar peluncuran buku. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun ibunda Adhyaksa Dault. Di tengah acara peluncuran bukunya, sebagian tokoh yang masuk dalam daftar undangannya terlihat hadir.

Baris terdepan, duduk bersama dirinya ada mantan Wakil Presiden RI Tri Sutrisno, disebelahnya duduk dengan gagah Ketua Dewan Pembina Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh, bersama Wakil Ketua DPR Pramono Anung.

Masih dalam lingkaran meja yang sama, terdapat tokoh Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang duduknya tak jauh dari kursi sang Ketua Umum Hatta Rajasa.

Setelah Adhyaksa Dault memberi sambutan pengantar peluncuran buku “Menghadang Negara Gagal” yang disampaikan dengan meletup-letup, empat tokoh yang berada satu meja dengan dirinya satu per satu memberi pandangannya.



Mereka berurutan dari Pramono Anung, disusul Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Surya Paloh, dan Tri Sutrisno paling pamungkas.

Terkesan ini merupakan seremonial biasa. Tapi, bagi saya sedikit ‘kurang biasa’. Subyektifitas saya ini terkait pengantar yang disampaikan dua tokoh nasional. Saya sebut tokoh nasional, karena memang keduanya sama-sama merupakan motor penggerak partai politiknya masing-masing.

Adalah Hatta Rajasa yang pada mulanya menyampaikan pandangan terkait buku yang ditulis Adhyaksa Dault. Di tengah menyampaikan testimoni, Hatta yang menggawangi bidang perekonomian di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak lupa memuji kinerja ekonomi nasional.

Indonesia dari kacamata Hatta telah berubah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang stabil dan kuat. Investasi perlahan terus masuk, pendapatan per kapita penduduk mengalami peningkatan, serta berbagai upaya memeratakan pembangunan lewat program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Dengan nada optimistis, Hatta menyebut pendapatan per kapita (GDP) Indonesia pada 2025 akan menembus US$16.000. Bahkan, Hatta tak lupa menyisipkan konsep ekonomi yang dikenal dengan hattanomics-nya.

Usai menyampaikan pandangannya, panggung pun berganti. Giliran Surya Paloh mengisi podium yang baru beberapa menit ditinggalkan Hatta.

Dengan suara berat nan khas, raja media ini langsung bermanuver. Hampir seluruh pernyataan Hatta Rajasa dibantah. “Kalau yang disampaikan Bung Hatta [Hatta Rajasa] itu benar adanya, selesai sudah persoalan negeri ini. Tak ada gunanya kita berada di tempat ini,” kata Surya Paloh.

Sontak beberapa pekerja media yang ada di lokasi tersebut saling berbisik. “Wah, serangan balik,” kata seorang kawan.

Panggung tersebut seolah menjadi ruang bagi Surya Paloh menguliti kegagalan pemerintah dalam membangun kepercayaan dan menyejahterakan rakyatnya. “Kita boleh optimistis, tapi kelewat optimistis itu juga tak baik,” imbuhnya.

Saya mencoba mengintip baris terdepan, seusai Surya Paloh turun panggung. Dugaan saya kedua tokoh ini, Surya Paloh dan Hatta Rajasa akan saling sapa dan bersalaman sebagai tanda kelapangan hati. Saling kritik dalam politik adalah hal biasa.

Rupanya, pemandangan itu tak terjadi. Tampaknya sebelum Surya Paloh mengakhiri sambutan, sang menteri berambut perak sudah meninggalkan lokasi acara.

Padahal, satu sisi menarik dari rangkaian acara peluncuran buku ‘Menghadang Negara Gagal’ tersebut yakni adanya pembicaraan yang mengarah pada sosok negarawan.

Adhyaksa mengibaratkan negara seperti halnya sebuah bangunan rumah. Dalam rumah itu bermukim sebuah keluarga. Terdapat kamar, ruang tamu, ruang keluarga dalam rumah tersebut.

Saat ini yang terjadi, Indonesia sebagai sebuah keluarga yang mendiami rumah tersebut terkotak-kotak di dalam rumah sendiri. Tokoh nasional kita lebih senang berdiam diri dalam kamar, tanpa ada niat untuk saling bertemu, bercengkerama di ruang keluarga.

Ini yang menyebabkan Indonesia seolah berdiri sebagai bangsa tanpa pemimpin. Secara makroekonomi, apa yang disampaikan Hatta Rajasa tentu ada benarnya. Indonesia telah tumbuh menjadi satu kekuatan ekonomi Asia.

Kritik Surya Paloh pun tak ada salahnya. Tengok saja, kita masih kerap menemukan kelompok masyarakat yang setengah mati kesulitan memperoleh akses air bersih. Atau mereka yang sekarat tak bisa makan karena tak mampu membeli beras.

Banyak pertanyaan, benarkah kemajuan ekonomi kita berangkat dari tangan kita sendiri atau adanya campur tangan asing. Satu kalimat yang sengaja saya lingkari dalam catatan kecil saya,”Jangan harapkan negara lain membangun negeri ini, selain anak bangsa kita sendiri,”

Kalimat cerdas, lugas, dan penuh semangat. Semestinya, semua tokoh nasional kita saling terbuka, menerima masukan dan kritik dengan lapang. Beda baju politik adalah hal biasa, tapi bukan berarti kita tak lantas anti- terhadap kritik. Bukan demikian? Ahh, itu hanya bayangan saya.

Tulisan ini pernah dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi 15 September 2012

Tidak ada komentar: