Rabu, 03 Oktober 2012

'Ahok' Basuki Mainkan Peran Rudi ?


Perhelatan Jakarta Memilih menetapkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih periode 2012-2017 menggantikan Fauzi Bowo-Prijanto.

Inilah duet baru yang diharapkan mampu menata Jakarta. Ibu Kota yang menawarkan seribu mimpi dengan sejuta persoalan.

Jokowi, putra Solo yang berhasil membangun kotanya selama menjabat sebagai walikota selama 7 tahun hijrah ke Jakarta untuk menjajal tantangan baru. Demikian pula dengan Ahok yang sempat menjadi Bupati Belitung Timur dan anggota DPR, mengusung mimpi yang kurang lebih sama.

Jokowi...Ahok...Ahok...! Menjadi media darling selama perhelatan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Keduanya membuktikan bahwa kekuatan massa-lah penentu hasil akhir. Bukan lagi keroyokan partai-partai.

Kemenangan Jokowi-Ahok menunjukan bahwa dukungan partai tak lantas memuluskan langah seseorang tampil sebagai pemimpin.



Seperti banyolan pelawak asal Yogyakarta Marwoto Kawer dalam pementasan Laskar Dagelan, Vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan, yang kemudian disambut gemuruh tawa dan tepuk tangan penonton.

Orang seperti Jokowi yang banyak disebut ingah-ingih bisa terpilih menjadi gubernur Jakarta, pusat bisnis dan pemerintahan yang menguasai lebih dari separuh perekonomian nasional. Maka, fenomena kemenangan Jokowi digambarkan sebagai titah arus bawah.

Kemenangan "semut" Jokowi-Ahok atas "gajah" Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, mengundang pujian dari kalangan pengamat politik.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam judul risetnya sebelum putaran kedua pilgub digelar menggambarkan pilgub DKI sebagai bentuk protes kalangan menengah. Suara Jokowi memang banyak ditopang kalangan menengah.

Mereka yang sudah jenuh dengan persoalan Jakarta yang maha kompleks, lalu mencoba mencari figur baru. Catat, sekedar figur baru! Figur yang dinilai cocok menggantikan Bang Kumis yang sudah menuai cap gatotkoco (gagal total kokean cocot).

Belum tentu juga figur baru terpilih ini langsung bisa membenahi Jakarta yang luasnya lebih dari 10 kali luas Kota Solo. Namun, setidaknya publik patut menggantungkan harapan dengan deretan aksi yang pernah dibuat Jokowi.

Meski demikian, publik Jakarta perlu mengenal betul bagaimana karakter Jokowi dalam membangun Solo selama 7 tahun masa kepemimpinannya. Jokowi butuh waktu lebih dari 2 tahun sejak menjabat untuk menata Solo.

Kemenangan Jokowi ini seperti de javu pemilihan walikota Solo 2005. Saat itu, Jokowi yang berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo praktis tak diunggulkan. Seperti halnya Ahok yang seorang Kristen, Hadi Rudyatmo merupakan tokoh politik penganut nasrani Katolik.

Strategi menduetkan pasangan gado-gado dari sisi agama ini, rupanya mampu mengantar mereka sebagai pemimpin Solo. Inilah yang terulang di Jakarta. Praktis selama keduanya memimpin Solo tanpa penolakan, masyarakat tetap mampu menjalankan kegiatan sebagaimana mestinya.

Perbedaan latar belakang agama tak lantas menjadi alasan bahwa pemimpin hanya boleh berasal dari kalangan mayoritas, demikian pula sebaliknya. Hakikat pemimpin adalah membangun, mengayomi masyarakat, tanpa perlu melihat latar belakang suku, agama, dan ras.

Hadi Rudyatmo atau yang lebih dikenal dengan panggilan Rudi merupakan Ketua DPC PDI Perjuangan Surakarta. Sepintas dari raut wajahnya, Rudi merupakan sosok yang tegas dan berani. Karakter inilah yang mampu menutup personal Jokowi yang dikenal kalem, murah senyum, dan tidak mudah marah.

Bagi Anda yang sempat jenuh mengikuti konflik sepakbola nasional, tentu mengenal betul sosok Rudi ini. Dia bersama Agum Gumelar dkk waktu itu dipercaya sebagai salah satu pemimpin sidang kongres PSSI yang awut-awutan di Hotel Sultan Jakarta beberapa waktu lalu.

Bahkan, Rudi pulalah pemimpin sidang pertama kala itu yang mencak-mencak di depan peserta kongres dan memilih walk out dari ruang sidang.

Lantas, kenapa tiba-tiba tulisan ini mengupas sosok Hadi Rudyatmo? Secara pribadi, keberhasilan Jokowi memimpin dan membangun Solo perannya tak bisa dilepaskan dari sosok satu ini.

Jika muncul persoalan yang berpotensi konflik dalam setiap rencana pembangunan kota, Rudi tak segan-segan turun tangan. Rudi dengan tegas menyebut bahwa urusan konsep dan ide merupakan keahlian Jokowi.

"Saya sebagai eksekutor," kata Rudi menggambarkan dirinya dalam urusan pemerintahan. Pendekatan pembangunan yang dilakukan keduanya bukan lagi menggunakan pentung dan senjata. Dengan kata lain, kedua sosok ini memang saling melengkapi.

Pernah, satu kali Jokowi digugat ke meja hijau oleh Ismu Wardoyo, seorang paranormal dan tokoh masyarakat yang dikenal dekat dengan kalangan militer, terkait pembangunan Solo Paragon. Tanpa ragu, Rudi bersedia menjadi bumper bagi Jokowi.

"Kulo lawan'ne [saya lawannya]," tegasnya. Entah perlawanan seperti apa yang dimaksud Rudi, nyatanya gugatan tersebut terhenti.

Dalam beberapa kesempatan acara informal, seperti meninjau kegiatan malam di pusat jajan Gladak Langen Bogan (Galabo), Rudi tak segan menjadi 'sopir' Jokowi. Rudi dengan santai duduk dibalik kemudi ditemani Jokowi disebelahnya, sementara dua orang ajudan duduk di kursi tengah.

Keduanya berjalan sepanjang galabo praktis tanpa ada seremonial, sambutan, maupun pengawalan ketat. Mereka bercengkerama dengan pedagang maupun pengunjung seperti halnya pertemuan antara kolega.

Sebagai tokoh masyarakat dan juga ketua partai di wilayah Surakarta, Rudi paham betul kantong-kantong mana saja yang bisa dikendalikan terkait dengan pembangunan kota. Inilah salah satu kekuatan Rudi selama menyokong Jokowi.

Ketika banyak pasangan pemimpin daerah yang pecah kongsi setelah melewati periode 5 tahun pertama, Jokowi-Rudi mampu menepis tradisi itu.


Rudi Hadyatmo bukan sosok penuh ambisi. Cenderung saya menilainya, sosok yang tau diri. Saat menuju pemilihan periode kedua 2010 lalu, Rudi memilih tak banyak bicara apakah dirinya akan maju sebagai calon walikota pesaing Jokowi. Saat gong jelang pemilihan dimulai, Rudi memilih tetap mendampingi Jokowi.


Maka, ketika terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, Rudi sempat menitipkan pesan kepada Ahok agar tak segan mengingatkan Jokowi, terutama dalam hal ide maupun konsep penataan kota. Peran inilah yang harus dimainkan 'Ahok' Basuki selama mendampingi Jokowi.

Mampukah Ahok menjalani peran-peran seperti layaknya yang dimainkan Rudi? []
   
Tulisan ini adalah pendapat pribadi tidak mewakili institusi manapun
   

1 komentar:

iwan mengatakan...

Menurut saya rudi memang mampu memimpin suatu organisasi yang sifatnya menggalang massa ataupun partai politik.tapi rudi memiliki kemampuan yang terlalu terbatas, dalam banyak kriteria memimpin sebuah kota ataupun warga masyarakat dengan segala aspek di dalamnya