Sabtu, 04 Agustus 2012

Mengangkat PFN Dari Liang Lahat


Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN) yang menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah nyata-nyata mati tapi belum sempat dikubur, memiliki rantai sejarah panjang dalam perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Entitas ini merupakan perintis lahirnya karya film besar di Tanah Air pada masanya. Dari berbagai literatur, munculnya perusahaan ini berawal dari pendirian perusahaan film yang bernama Java Pasific Film (JPF) oleh Albert Ballink pada 1934.

Kelahirannya tersebut bersamaan dengan pembentukan gabungan bioskop Hindia dan film commisie yang menjadi cikal bakal lahirnya Lembaga Sensor Film. Selanjutnya, pada 1936 perusahaan ini mengubah namanya menjadi Algemeene Nederlands Indiesche Film (ANIF).

ANIF  memfokuskan diri pada pembuatan film cerita maupun dokumenter. Kedatangan Jepang sekitar 1942 membuat ANIF ikut terkena imbasnya. Sejalan dengan pendudukan Jepang, ANIF berubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha dengan kekhususan memproduksi tayangan untuk propaganda politik Jepang pada masa itu.

Memasuki masa kemerdekaan, Nippon Eiga Sha diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Sejalan dengan itu, para karyawan yang bekerja melakukan berbagai peliputan perisitiwa sejarah yang terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia.

Setelah era itu, perusahaan ini masih kerap berganti-ganti nama, dari mulai Perusahaan Pilem Negara (PPN) pada 1950, lalu saat melewati penyempurnaan ejaan berganti menjadi Perusahaan Film Negara (PFN).

Atas pertimbangan keuntungan dan perusahaan berjalan secara profesional, namanya berubah lagi menjadi Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN).

Jalan panjang PFN dengan berbagai pasang surut kegemilangan, kini berlabuh di tangan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

PPA merupakan perusahaan negara yang dibentuk dengan tujuan sebagai katalis meningkatkan nilai atau menyehatkan perusahaan maupun BUMN agar mampu tumbuh secara berkesinambungan.

Masuknya PFN dalam pengelolaan PPA karena kondisinya yang sudah tak lagi sehat itu. kegemilangan PFN yang melahirkan tokoh perfilman besar Indonesia seperti Usmar Ismail, memang tinggal kenangan.

Berdasarkan informasi dari situs PPA, perusahaan film ini memasuki tahap proses tindak lanjut untuk restrukturisasi dan revitalisasi bersama beberapa perusahaan lain.

Dengan kata lain, PFN yang melegenda dengan film anak-anak si-Unyil masih punya asa melanjutkan hidup setelah melalui tahapan restrukturisasi maupun revitalisasi.

Pertanyaan berikutnya, kalau pun masih mampu bertahan hidup setelah disehatkan, siapa yang akan mengambil alih PFN ?

Pak Dis, panggilan Dahlan Iskan mengisyaratkan PFN akan diakuisisi oleh sesama badan usaha milik negara (BUMN). Tentu pertimbangan tersebut atas dasar sinergi BUMN yang selama ini didengungkan pemerintah, termasuk mengacu pada UU BUMN No.19/2003.

Restrukturisasi memang bertujuan meningkatkan kinerja BUMN dan menghasilkan produk layanan dengan harga kompetitif. Selain itu, salah satu maksud restrukturisasi untuk memudahkan BUMN melaksanakan privatisasi.

Mengacu pada pasal 78 UU BUMN, terdapat tiga mekanisme privatisasi perusahaan negara. Pertama melakukan penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, kedua melakukan penjualan langsung kepada investor, atau ketiga menjual saham kepada karyawannya.

Ketentuan penjualan langsung kepada investor inilah yang tengah dipertimbangkan oleh Nexus, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang risk mitigation & strategic communications. Perusahaan swasta ini rupanya menaruh minat menyelamatkan PFN.

Ditemui disela acara buka puasa bersama 500 anak yatim piatu di sebuah hotel berbintang Jakarta Kamis (26 Juli 2012), Komisaris Nexus Jenny Rachman menjawab singkat pertanyaan yang diajukan Bisnis mengenai rencana menyelamatkan PFN tersebut.

Insya Allah, mohon doanya saja,” kata Jenny Rachman. Jenny Rachman merupakan artis senior yang memiliki pengalaman panjang dalam perjalanan film Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Aktor dan Aktris Film Indonesia (PARFI) periode 2006—2010.

Keterangan mengenai keseriusan perusahaan itu menyelamatkan PFN dari ‘kematian’ disampaikan lebih lanjut oleh Firsan Nova, Managing Director Nexus. Menurut Firsan, PFN merupakan aset negara yang selama ini tidak optimal pengelolaannya.

“Sebagai orang yang ada di industri film, Bu Jenny [Jenny Rachman] melihat bahwa PFN bisa dioptimalkan. Sekarang ini industri film makin berkembang luas,” ungkapnya.

Firsan memang belum menjelaskan secara detil bagaimana keterlibatan Nexus ke depan dalam menyelamatkan dan mengembangkan BUMN film ini.

Sejauh ini, pihaknya baru sebatas menyiapkan konsep tertulis pengelolaan PFN. “Masih konsep, belum kami bawa kemana-mana. Kami hanya berpikir, ini akan menjadi investasi yang baik ke depan apabila kita terlibat dalam pengelolaannya,” tambah Firsan.

Kemungkinan Nexus memang hanya akan terlibat dalam mengelola PFN, tidak mengambil alih secara penuh perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, dia tengah mempertimbangkan berbagai regulasi dalam Kementerian BUMN yang dapat dijadikan acuan keterlibatan swasta mengelola perusahaan negara.

“Kalau dikelola swasta sepertinya masih memungkinkan, kalau kami take over PFN rasanya tidak. Konsep ini masih kami matangkan, setelah itu baru kami bawa ke PPA karena sekarang ini PFN ada di sana. Apakah swasta boleh terlibat atau tidak, sampai saat ini kami belum tahu persis,” jelasnya.

Dia menggarisbawahi bahwa Nexus siap menyegarkan pengelolaan di tubuh PFN, termasuk menghadirkan peralatan dan teknologi terkini untuk mendukung kegiatan perusahaan sehingga berjalan kompetitif. Adakah malaikat lain yang akan mengangkat PFN dari liang lahat ?

Tulisan ini pernah dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi Sabtu 4 Agustus 2012

Tidak ada komentar: