Senin, 30 Juli 2012

Jurnalis di Jalur Musik Religi


“Sejak awal saya menegaskan bukan musisi. Jalan kesenian di musik ini hanya satu dari sekian banyak jalan yang saya tempuh untuk mendakwahkan Islam yang cinta damai, pro-persaudaraan, dan menghargai kebebasan beragama,”

Kalimat ini terlontar dari Candra Malik, pria asli Solo kelahiran 25 Maret 1978. Bagi sebagian kalangan, namanya mungkin terdengar samar. Tapi, mereka penonton setia tayangan Humor Sahur yang disiarkan salah satu televisi swasta selama Ramadan tahun ini, nama Candra Malik mungkin mudah diakrabi.

Berpasangan dengan seorang penulis, motivator, dan budayawan Prie GS, setiap pagi dini hari pukul 02.30 Wib, dia hadir mengupas sejumlah topik diskusi dengan gaya ringan, menghibur, tanpa ada kesan menggurui.

Sejatinya Candra Malik bukanlah musisi, apalagi host sebuah acara televisi. Sebagai seorang muslim, dia memilih ajaran sufi yang diperdalamnya sejak 1992 atau sekitar 20 tahun terakhir.

Entah bisikan seperti apa yang berhembus di telinganya, sampai akhirnya pada pertengahan Juli 2012 dia mengeluarkan album musik religi Kidung Sufi berjudul 'Samudera Cinta'. Album pertama yang secara tak sengaja pula tiba menjelang datangnya Ramadan.

Candra Malik enggan menyebut album musik pertamanya ini sengaja hadir untuk memuliakan bulan suci. “Kalau ada dukun tiban, maka saya ini penyanyi tiban. Saya sama sekali tidak punya latar belakang sebagai penyanyi apalagi mengenal seluk-beluk musik,” katanya.

Semua proses yang dilalui, lanjutnya mengalir begitu saja sejak proyek album ini dimulai pada September 2011. Penggarapan lirik dan musik 12 lagu yang ada di album Samudera Cinta tersebut dilaluinya dengan mudah hingga proses rekaman pada Februari 2012.

Ada kesan menarik dari perjalanan hidup Candra Malik yang punya latar belakang unik. Lahir sebagai anak seorang kyai, dia pernah menekuni pekerjaan sebagai seorang jurnalis, profesi yang melekat dan ditekuninya sejak 1999.

Dia menjadi wartawan sebuah koran dengan jaringan surat kabar terbesar di Indonesia sejak 1999—2006. Posisi terakhir  yang pernah diembannya sebagai kepala liputan.

Lepas dari kelompok media tersebut, dia memilih hijrah ke Solo untuk mendirikan sebuah bisnis kafe dan menjadi penulis lepas di berbagai media massa nasional. Entah bisikan seperti apa lagi yang datang, bisnis kafe ditinggalkan dan memilih kembali ke Jakarta sekitar 2—3 tahun silam.

Sadar dibesarkan oleh dunia jurnalistik, Candra Malik tak pernah punya niat melepas statusnya tersebut.

“Sejak membuat album musik religi ini, sudah 8 bulan lebih saya tidak menulis. Konsentrasi memang masih di album baru. Kalau sudah ketemu ritmenya, saya pasti akan kembali menulis. Saya tidak akan melepas profesi sebagai wartawan,” katanya.

Sebagai penganut muslim yang taat, dia yakni saat ini dirinya tengah diutus untuk memilih jalan bermusik sebagai media dakwah. Sama halnya ketika dia memilih jalan menekuni profesi wartawan maupun membangun bisnis kafe.

Datang sebagai debutan, album musik religi Candra Malik ini boleh dibilang fenomenal. Nama musisi beken terlibat dalam penggarapan album ini, seperti Addie MS (Twilite Orchestra), Dewa Budjana (gitaris GIGI), Tohpati, Trie Utami, Hendri Lamiri, dan Marzuki Mohamad Kill The DJ (Jogjakarta Hip Hop Foundation).

Musisi lain seperti Idris Sardi, Dik Doank dan Komunitas Kandangk Jurang Doank, John Paul Ivan (mantan gitaris Boomerang), dan Heru Wahyono (Shaggydog). Dari barisan seniman terdapat nama Ahmad Mustafa Bisri (Gus Mus), Emha Ainun Nadjib, dan Sujiwo Tejo.

Sejak proses ide, Candra Malik memilih untuk menarik garis tegas antara religi dan kultur. Dua hal yang menurutnya harus dipisahkan dan tak dapat dicampur aduk.

Dalam hal ini, dia ingin menggarisbawahi bahwa Islam tidak selalu sama dengan Arab, demikian pula Arab tidak selalu sama dengan Islam.

“Sebab itu album ini tidak berirama padang pasir. Justru dalam album ini muncul sejumlah genre musik, mulai dari klasik, jazz, pop rock, ska, rap, dan suluk wayang kulit,” tuturnya.

Bapak tiga anak ini mengedepankan sisi pluralisme dari album musik religi yang dibuatnya. Pilihan melibatkan multigenerasi musisi dengan berbagai latar belakang keyakinan dan aliran musik dengan pertimbangan menyatukan khazanah dan kekayaan musik itu sendiri.

Meski album ini kental bernafaskan Islami, dibalik penggarapan terdapat nama Dewa Budjana yang penganut Hindhu atau John Paul Ivan-mantan gitaris band Boomerang- yang merupakan pemeluk Nasrani.

Demikian pula dalam memilih lirik lagunya. Seluruh lagu dalam album ini memakai bahasa Indonesia. “Terus terang saya tak bisa meninggalkan Al-Quran karena itu merupakan sumber inspirasi. Tapi saya memilih ayat pendek yang populer. Ayat yang orang awam mudah mengerti dan hapal di luar kepala,” ungkapnya.

Inilah pesan moral dari Kidung Sufi, membawa lantunan dakwah bernafas cinta damai dan pluralisme. Pesan khusyuk yang tak hanya lahir di kala bulan suci seperti saat ini, melainkan pula sepanjang bulan dan tahun dalam konteks membangun kehidupan berbangsa yang beragam.

“Kalau ada yang memperjuangkan Islam dengan jalan kekerasan, saya minta ijin untuk memperjuangkan dengan jalan kelembutan,” tutupnya.

Tulisan ini dimuat di halaman Oasis Bisnis Indonesia edisi 28 Juli 2012

Tidak ada komentar: