Rabu, 28 Mei 2008

Pemerintah Kurang (Gagal) Mengatasi Kemiskinan

Paskakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga 28,7% akhir pekan lalu, pemerintah telah menyiapkan formula kompensasi bagi warga miskin melalui mekanisme penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Tahap awal penyaluran BLT yang sempat diwarnai prokontra tersebut, dilakukan di 10 kota besar di Indonesia yang diantaranya Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta.

Solo dan sekitarnya ? Tunggu gilirannya deh. Kabar punya cerita bulan Juni ini.

Bagi warga miskin, bantun dari pemerintah ini layak ditunggu, karena program BLT ini memberikan ruang luas bagi warga miskin untuk menerima uang tunai, tanpa harus bekerja keras dengan nilai Rp300.000 per tiga bulan.

Pemerintah mengklaim penyaluran BLT di 10 kota besar itu berjalan lancar dan tepat sasaran. Berbeda dengan penyaluran BLT tahun 2005, kali ini punggawa-punggawa SBY-JK diminta turun ke lapangan mengawasi secara langsung penyaluran BLT itu

Tetapi yang menjadi permasalahan, mengapa pemerintah dalam penyaluran BLT tahun ini mengacu pada data BPS tahun 2005?

Sedangkan validitas data BPS pada penyaluran BLT tahun 2005, banyak diperdebatkan.

Wakil Walikota Solo Hady Rudyatmo mengatakan sedikitnya terdapat selisih sekitar 3.200 warga miskin yang seharusnya berhak menerima BLT tahun 2005, tetapi tidak memperolehnya.

Rupanya pemerintahan SBY-JK cukup pintar menutup "borok" kegagalannya mengatasi permasalahan kemiskinan di republik ini.

Dalih yang dipakai pemerintah, data BPS 2005 sudah tersedia dan dalam waktu singkat dana BLT langsung dapat dibagikan.

Tetapi sebenarnya, pemerintah tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan melihat fenomena kemiskinan yang semakin bertambah hingga tahun 2008 ini.

Angka Rp14 triliun lebih yang disiapkan pemerintah, secara matematis hanya akan mampu diserap sekitar 12 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS).

Padahal, data dari berbagai sumber, jumlah RTS di Indonesia pada 2008 sedikitnya mencapai angka 19,1 juta RTS. Lebih ngeri lagi data yang dilansir partai oposan SBY-JK, PDI-Perjuangan, yang mengeluarkan jumlah keluarga miskin di Indonesia mencapai lebih dari 30 juta kepala keluarga (KK).

Ya, mungkin ini hanya sebagian dari usaha pemerintah memberikan bantuan, sekedar memberikan bantuan - karena tidak mungkin mengangkat mereka dari jurang kemiskinan - dalam upaya memberikan citra positif bagi rakyatnya.

Tapi, sekali lagi, nampaknya penyaluran BLT tahun ini dengan menggunakan data BPS tahun 2005, sebagai upaya membela diri agar tidak dicap gagal dalam mengatasi kemiskinan. Karena sudah barang tentu, jumlah warga miskin di republik ini jauh lebih banyak dari yang sekarang ini digembar-gemborkan lewat penerimaan BLT.

Semoga rakyat bangsa ini tidak diajarkan untuk menjadi kaum pengemis.

Salam untuk republik tercinta.

Rabu, 21 Mei 2008

Mereka Yang Bersidang di Parlemen Jalanan

Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7% pada akhir bulan ini, terus mendapat reaksi penolakan dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat.

Bahkan, penolakan tersebut tak sedikit yang lahir dari kepala daerah maupun anggota dewan perwakilan rakyat.

Di Solo, Wakil Walikota Solo Hady Rudyatmo meneriakan penolakannya terhadap opsi yang dipilih pemerintah pusat dengan menaikkan harga BBM.

Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) M. Fadjroel Rachman secara tegas menyatakan mosi ketidakpercayaannya pada pemerintah SBY-JK.

Bertepatan dengan peringatan 10 tahun reformasi, 21 Mei 2008, mahasiswa di Kota Solo terus menerus menggelar "parlemen jalanan" dengan teriakan lantang menolak kenaikan harga BBM.

Mahasiswa ? Hampir tidak ada kata lelah. Semua seolah bertekad menggagalkan kebijakan tersebut.

Meski mereka terus berjuang dengan dibalut rasa idealisme, banyak diantara masyarakat yang cuek terhadap perjuangan mereka.

Bagi sebagian kalangan, rencana kenaikan harga BBM, masih dianggap hal wajar ditengah fluktuasi ekonomi tanah air dan global.

Tapi tidak untuk kawan-kawan mahasiswa.

Pemerintah pun sudah pasti akan menaikkan BBM akhir bulan Mei ini. Ditengah berbagai desakan dan aksi demo yang menggelora di seantero negeri, pemerintah tak bergeming dan langkahnya pun tak surut.

Kini asa itu terus digantungkan. Selamat berjuang kawan-kawan mahasiswa, meski perjuangan kalian berhasil, sedikit orang yang akan mengenang kalian sebagai aktor penggerak perubahan.

Dan bagi masyarakat, selamat menikmati harga baru BBM, karena pemerintah kita belum mampu menunjukan tajinya ditengah hiruk pikuk penemuan energi alternatif. Seperti biasa, alasannya apalagi kalau bukan soal anggaran...!!!



Selasa, 20 Mei 2008

Kemiskinan, Potret Nyata Semangat Kebangkitan Nasional

Hari ini (20 Mei 2008), tepat 100 tahun yang lalu, kabar punya cerita, tepat lahirnya sebuah organisasi modern di tanah air yang digawangi kaum-kaum pelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan sebagai bagian dari politik balas budi dari pemerintahan in lander Belanda.

Budi Utomo lahir atas prakarsa Dr. Wahidin Sudirohusodo, dengan tujuan membebaskan anak negeri dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan, akibat penjajahan Belanda selama kurang lebih 350 tahun lamanya.

Keberanian organisasi nirlaba merobohkan tembok kapitalisme bangsa Belanda, melecut lahirnya berbagai organisasi lainnya yang ditata dan dikemas layaknya Budi Utomo, sebut saja Serikat Islam, Indiche Partij dan Partai Nasional Indonesia.

Perjuangan organisasi-organisasi tersebut mentas dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh dua tokoh bangsa Soekarno - Hatta.

Kini, 100 tahun berlalu, idealisme Budi Utomo masih sekedar menjadi cita-cita yang menggantung di langit. Cita-cita mulia mensejahterakan rakyat di bumi nusantara, hanya sekedar lipstik pemanis bibir yang sering gampang diucapkan, tetapi sulit dalam prakteknya.

Tengok saja potret kemiskinan di Dusun Lemahbang, Kismantoro, Kabupaten Wonogiri.

Menurut data yang dilansir pemerintah kecamatan Kismantoro, dari 13.373 kepala keluarga (KK) di kecamatan tersebut, hampir 41,4% atau 5.542 KK diantaranya tergolong kategori miskin.

Dusun Lemahbang yang terletak di ujung timur Jawa Tengah ini, sering disebut sebagai wilayah termiskin di Wonogiri, bahkan di Jateng. Begitulah faktanya, ketika saya berkesempatan menyambangi lokasi ini.

Untuk bisa mengakses dusun ini, diperlukan waktu hampir setengah jam perjalanan menggunakan mobil dengan kondisi jalan tanah bergelombang.

Jika musim hujan tiba, dipastikan jalur jalan tersebut akan tergenang lumpur dan sulit dilewati.

Untuk bisa mengakses wilayah perkotaan atau jalur ekonomi terdekat, warga setempat rata-rata terpaksa berjalan kaki dengan jarak tempuh sekitar tujuh kilometer.

Hampir tidak akan kita temukan rumah tembok di daerah ini. Jika pemerintah masih menggunakan acuan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan 14 kategori yang pernah ditetapkan sebelumnya, secara kasat mata warga daerah ini wajib menerima bantuan tersebut.

Lebih parah lagi, dusun tersebut dulunya merupakan daerah endemi penyakit Kretin, jenis penyakit yang disebabkan kekurangan garam yodium akut.

Akibat yang ditimbulkan dari Kretin yakni turunnya tingkat kecerdasan, kelainan syaraf hingga bisu, tuli dan mata juling. Dan penyakit ini mustahil untuk sembuh, kecuali dengan memutus rantai generasinya dengan suplai yodium yang memadai.

Rata-rata mereka yang menderita penyalit Kretin usianya kini diatas 35 tahun, dan sulit untuk diajak berkomunikasi.

Memang 100 tahun telah berlalu. dan 100 tahun dari perjalanan itu, masih saja potret kemiskinan mendominasi isu sosial di tataran masyarakat pedalaman.

Jauh dari informasi, teknologi dan kualitas pendidikan, mereka tetap warga negara Indonesia yang harus memperoleh hak setara dengan penduduk lainnya.

Tidak ada alasan keterjangkauan wilayah, apalagi keterbatasan anggaran, fakta kehidupan seperti ini, nyata adanya di bumi pertiwi.

Semoga seremoni agung Kebangkitan Indonesia yang digelar dengan mahal di stadion utama Bung Karno Jakarta, Selesa malam, mampu membangkitkan semangat anak negeri bangkit dari keterpurukan.

Indonesia Bisa



Minggu, 04 Mei 2008

Ujian Nasional Lagi ? Bocor Deh...!!

Bicara soal pendidikan anak negeri, selalu menarik perhatian bahkan penuh dengan rancak permasalahan yang mengiringinya.

Setelah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk jenjang pendidikan SMU/SMK usai, bersambung dengan masalah baru bahwa UN tersebut diduga terjadi kebocoran. Bahkan di beberapa daerah, guru pengajar dijadikan tersangka yang membocorkan soal tersebut kepada siswanya.

Meski Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bersikukuh bahwa sirkulasi soal UN berjalan dalam pengawasan ketat, fakta di lapangan "bobolnya" soal UN memang begitulah adanya.

Ada yang menilai kadar kebocoran soal dan jawaban yang disebarkan melalui perangkat telepon seluler tidak lebih dari 10% dari total soal yang diujikan. Tetapi, ada pula yang mengatakan jawaban yang dibagikan sama persis dengan yang diujikan.

Mana yang benar, datar sajalah jawabnya...Biarlah Tuhan yang tau...!!!

Usai hiruk pikuk problematika di tingkat SMU/SMK, minggu ini dipastikan akan muncul riuh rendah permasalahan serupa untuk jenjang peserta didik setingkat dibawahnya.

Mulai Senin (05/05/2008) pelajar SMP se-Indonesia "mempertaruhkan" nasibnya dalam arena UN.

Apakah berita carut marut terjadinya kebocoran akan kembali menyeruak ? Nggak rame rasanya kalau tidak bocor.

Mendukung atau tidak adanya UN untuk menentukan kelulusan seorang siswa, saya tidak mau duduk sebagai pesakitan yang ikut berdebat kusir didalamnya.

Zona kualitas pendidikan negeri ini memang masih dikelola apa adanya. daerah perkotaan yang mudah dengan akses informasi, selalu terdepan dalam hal kualitas pendidikannya. Sementara di daerah, selalu dihadapkan pada keterbatasan akses tersebut.

Belum lagi soal gedung reyot, ambruk hingga kesulitan ekonomi lainnya. Cerita dari zaman gaban hingga era Naruto masih saja tak habis untuk mengupasnya.

Buat adik-adik SMP yang besok mengikuti UN, selamat belajar dan selamat menempuh ujian. Ingat, meski kalian tidak lulus bukan berarti kalian bodoh, tetapi memang sistem pendidikan kitalah yang menentukan ketidaklulusan kalian.

Meski tidak lulus, bukan berati langit tiba-tiba runtuh dan menjadi akhir dari semuanya. Masih ada waktu untuk menata itu semua.








Pilgub Jateng 2008, Di Ranah Abu-Abu

Baru-baru ini, saya sempat ditanya oleh seorang kawan. "Kira-kira menurut kamu, siapa yang akan menang dalam Pemilihan Gubernur 2008 nanti ?" tanyanya saat itu.

Terus terang saya bukan seorang ahli nujum, yang bisa menerka peruntungan nasib seseorang dua langkah kedepan dibandingkan dengan saat ini. "Mmmm...sulit diterka," jawaban saya saat itu juga.

Bagi saya, siapapun yang menang dalam kontes tersebut hanyalah soal itung-itungan siapa yang memperoleh suara lebih banyak dibandingkan dengan kontestan lain. Soal kapabilitas, itu urusan belakangan. It's political.

Karena dalam politik hal itu sangat bias. tetap ada unsur politik yang bakalan bermain dibelakangnya, entah untuk mengeruk keuntungan pribadi atau benar-benar dengan tujuan mengabdi.

Sempat bertemu dengan beberapa masyarakat pemilih, rata-rata mereka tidak begitu mahfum dengan lima pasang calon yang bakalan beradu memperebutkan kursi Jateng-1.

Kalau toh mereka mengenal, itu karena bantuan alat peraga gambar calon yang menyesaki jalanan kota. Sekali lagi, soal kapabilitas....i'dont know what you did last summer dech pokoknya...!!

Terus terang, saya benar-benar buta terhadap peta Pilgub Jateng. Mereka yang mencalonkan diri sama sekali bukan tokoh yang benar-benar lahir sesuai harapan publik.

Dua mantan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IV Diponegoro duduk sebagai calon gubernur. Agus Soeyitno diusung PKB dan Bibit Waluyo diusung PDI-Perjuangan. Keduanya pun mengaku tahu karakteristik masyarakat Jateng, sampai akar-akarnya. Kalau soal ketegasan, mungkin keduanya tidak diragukan lagi...secara mantan militer gitu lo...!!

Dua calon lainnya, Sukawi Sutarip diusung Partai Demokrat dan HM. Tamzil yang diusung PPP, keduanya merupakan pejabat bupati dan walikota yang saat ini tercatat masih aktif. Sukawi Sutarip Walikota Semarang dan M. Tamzil, Bupati Kudus. Soal kemampuan pemerintahan, mungkin keduanya lebih berpengalaman.

Satu calon lainnya, Bambang Sadono yang digadang-gadang Partai Golkar, termasuk politisi kawakan Jateng yang kini berkiprah sebagai anggota DPR RI. Ditanya soal kemampuan, saya juga tidak tahu...!!

Kelima pasangan calon tersebut diuntungkan keengganan calon incumbent turut dalam bursa pemilihan. Entah apa alasannya Pak Ali Mufiz ?

Lalu, siapa yang akan tampil sebagai pemenang ? Mengacu pada Pilgub di Jabar yang dimenangkan pasangan kuda hitam Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, tampaknya pemenang Pilgub Jateng baru akan bisa diketahui seusai coblosan itu dilakukan.

Kalau sekarang terdapat survei yang mengunggulkan salah satu calon, inget cing...Agum Gumelar aja keok...padahal hasil surveinya ngeri deh dong...!!

Apakah faktor uang juga akan berbicara...nah ini dia...!!!

Dari hasil penghitungan kekayaan yang diumumkan KPUD Jateng, Sukawi Sutarip memang lebih mentereng. Hampir Rp56 miliar lebih ada dikoceknya dia. Sedangkan calon lain, Agus Soeyitno (Rp9 miliar), Bambang Sadono (Rp3,7 miliar), M. Tamzil (Rp1,4 miliar) dan Bibit Waluyo (Rp2,6 miliar)

Jual beli suara, ya...sepertinya bisa saja terjadi. Indikator kemiskinan di Jateng yang mencapai 21% pada tahun 2007 bisa jadi akan mengubah skenario awal yang diprediksi di awal acara.

Cuman kita berpesan logis, ambil duitnya tapi jangan pilih orangnya. Kalau semua tidak ada yang sreg dihati rakyat, nah lo...!!! Tugasnya para calon gubernur untuk meyakinkan rakyat.

Masih ada waktu 1,5 bulan kedepan bagi kelima pasangan calon ini memamerkan karya sejatinya dihadapan masyarakat Jateng. Bukan lagi soal janji-janji manis yang usang, karena masyarakat sudah kenyang dengan janji.

Lebih dari 25 juta suara potensial bakalan diperebutkan oleh kelima cagub-cawagub tersebut. Siapa yang terpilih, sepertinya akan menjadi ladang baru mengeruk keuntungan suara bagi partai pengusungnya untuk kontes Pemilu 2009.

Provinsi Jateng termasuk salah satu daerah yang menjadi indikator keberhasilan partai dalam setiap kontes pemilu.

Sekali lagi, jangan korbankan rakyat hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan. Apalagi selalu mengatasnamakan rakyat untuk mempopulerkan janji.