Selasa, 20 Mei 2008

Kemiskinan, Potret Nyata Semangat Kebangkitan Nasional

Hari ini (20 Mei 2008), tepat 100 tahun yang lalu, kabar punya cerita, tepat lahirnya sebuah organisasi modern di tanah air yang digawangi kaum-kaum pelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan sebagai bagian dari politik balas budi dari pemerintahan in lander Belanda.

Budi Utomo lahir atas prakarsa Dr. Wahidin Sudirohusodo, dengan tujuan membebaskan anak negeri dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan, akibat penjajahan Belanda selama kurang lebih 350 tahun lamanya.

Keberanian organisasi nirlaba merobohkan tembok kapitalisme bangsa Belanda, melecut lahirnya berbagai organisasi lainnya yang ditata dan dikemas layaknya Budi Utomo, sebut saja Serikat Islam, Indiche Partij dan Partai Nasional Indonesia.

Perjuangan organisasi-organisasi tersebut mentas dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh dua tokoh bangsa Soekarno - Hatta.

Kini, 100 tahun berlalu, idealisme Budi Utomo masih sekedar menjadi cita-cita yang menggantung di langit. Cita-cita mulia mensejahterakan rakyat di bumi nusantara, hanya sekedar lipstik pemanis bibir yang sering gampang diucapkan, tetapi sulit dalam prakteknya.

Tengok saja potret kemiskinan di Dusun Lemahbang, Kismantoro, Kabupaten Wonogiri.

Menurut data yang dilansir pemerintah kecamatan Kismantoro, dari 13.373 kepala keluarga (KK) di kecamatan tersebut, hampir 41,4% atau 5.542 KK diantaranya tergolong kategori miskin.

Dusun Lemahbang yang terletak di ujung timur Jawa Tengah ini, sering disebut sebagai wilayah termiskin di Wonogiri, bahkan di Jateng. Begitulah faktanya, ketika saya berkesempatan menyambangi lokasi ini.

Untuk bisa mengakses dusun ini, diperlukan waktu hampir setengah jam perjalanan menggunakan mobil dengan kondisi jalan tanah bergelombang.

Jika musim hujan tiba, dipastikan jalur jalan tersebut akan tergenang lumpur dan sulit dilewati.

Untuk bisa mengakses wilayah perkotaan atau jalur ekonomi terdekat, warga setempat rata-rata terpaksa berjalan kaki dengan jarak tempuh sekitar tujuh kilometer.

Hampir tidak akan kita temukan rumah tembok di daerah ini. Jika pemerintah masih menggunakan acuan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan 14 kategori yang pernah ditetapkan sebelumnya, secara kasat mata warga daerah ini wajib menerima bantuan tersebut.

Lebih parah lagi, dusun tersebut dulunya merupakan daerah endemi penyakit Kretin, jenis penyakit yang disebabkan kekurangan garam yodium akut.

Akibat yang ditimbulkan dari Kretin yakni turunnya tingkat kecerdasan, kelainan syaraf hingga bisu, tuli dan mata juling. Dan penyakit ini mustahil untuk sembuh, kecuali dengan memutus rantai generasinya dengan suplai yodium yang memadai.

Rata-rata mereka yang menderita penyalit Kretin usianya kini diatas 35 tahun, dan sulit untuk diajak berkomunikasi.

Memang 100 tahun telah berlalu. dan 100 tahun dari perjalanan itu, masih saja potret kemiskinan mendominasi isu sosial di tataran masyarakat pedalaman.

Jauh dari informasi, teknologi dan kualitas pendidikan, mereka tetap warga negara Indonesia yang harus memperoleh hak setara dengan penduduk lainnya.

Tidak ada alasan keterjangkauan wilayah, apalagi keterbatasan anggaran, fakta kehidupan seperti ini, nyata adanya di bumi pertiwi.

Semoga seremoni agung Kebangkitan Indonesia yang digelar dengan mahal di stadion utama Bung Karno Jakarta, Selesa malam, mampu membangkitkan semangat anak negeri bangkit dari keterpurukan.

Indonesia Bisa



Tidak ada komentar: