Sabtu, 16 Agustus 2014

SBY, Transisi, & Fatsun Politik

Seperti biasa, setiap menjelang peringatan HUT RI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato kenegaraan sekaligus membacakan nota keuangan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Soal RAPBN, saya pernah menulisnya pada Selasa 17 Agustus 2010 di blog ini.

Menarik dari pidato Presiden SBY tahun ini, bukan soal postur anggaran pendapatan dan belanja negara. Lebih menarik, karena inilah kali terakhir Pak SBY berpidato di hadapan anggota parlemen.

Sepuluh tahun sudah, Pak SBY setiap menjelang 17 Agustus selalu berdiri gagah di podium kehormatan dan disaksikan seluruh rakyat Indonesia dari kawasan gedung DPR.

Jika tidak ada aral melintang, presiden terpilih dari hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 akan dilantik pada 20 Oktober 2014. Saat ini, proses penetapan presiden terpilih masih menanti hasil sidang sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ada rasa penuh emosional di ujung pidato Presiden SBY, tentu saja. Seperti yang disampaikan di hadapan anggota parlemen, Presiden SBY mengaku bahwa 10 tahun masa kepemimpinannya tidak sepenuhnya sempurna.



Ada kesalahan, dan tentu saja ada prestasi selama beliau memimpin. Mau tak mau harus diakui. Stabilnya keamanan di dalam negeri, aktivitas ekonomi yang terus terjaga, serta proses pemilihan umum yang berjalan baik dan aman, adalah catatan manis di akhir masa bakti Pak SBY.

Satu yang patut dicatat dan diberi apresiasi, Presiden SBY dengan terang-terangan menyampaikan bahwa dirinya siap membantu siapapun presiden yang akan memimpin Indonesia berikutnya.

"Saya siap membantu siapapun presiden yang terpilih. Selamat kepada presiden terpilih," katanya di ujung akhir pidatonya Jumat 15 Agustus 2014.

Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, pernyataan itu memang terkesan biasa karena sudah sepatutnya estafet pemerintahan harus berjalan baik. Prestasi yang dicapai pemerintah sebelumnya, perlu dilanjutkan presiden selanjutnya.

Akan tetapi, sebagai pemimpin partai politik, pernyataan Presiden SBY itu memberi 'warna' baru dalam tradisi politik Tanah Air. Kita semua tahu, SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat.

Sampai kapan pun, SBY akan dikenang sebagai politisi santun. Sebagaimana halnya dalam dia memimpin negara yang ingin mewadahi semua kepentingan, tanpa ingin memusuhi pihak lain.

Kendati pada akhirnya, langkah itu dirasa lebih menyulitkan dan merepotkan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Lepas dari itu, SBY mengajarkan bahwa beda pandangan politik bukan berarti beda pula membawa misi negara.

Kita ingat bahwa transisi kepemimpinan nasional di Indonesia selalu berjalan 'panas'. Sejarah mencatat bagaimana perjalanan peralihan pemerintahan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Selanjutnya, Soeharto ke tangan BJ. Habibie.

Tak lama, sebagian di antara kita masih ingat bagaimana Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden, lalu proses transisi ke Megawati Soekarnoputri. Semuanya berlangsung dalam situasi politik yang panas.

Era pemilihan presiden secara langsung pada 2004 yang menetapkan SBY sebagai presiden, juga diwarnai dengan 'perang dingin'. Publik seolah-olah melihat nyata ketengangan pribadi antara Megawati dengan SBY (bekas menteri Mega).

Bahkan, dalam wawancara yang diunggah melalui media sosial youtube, Presiden SBY mengaku bahwa ada transisi politik yang tidak mulus dan terputus ketika dirinya memimpin republik ini.

Tradisi inilah yang tak ingin terulang. Presiden SBY mencoba bertanggung jawab secara penuh agar peralihan kepemimpinan tahun ini berjalan mulus, tanpa ada ketegangan politik apalagi dendam pribadi.

Dalam pidatonya di DPR Jumat lalu, SBY jelas-jelas menghargai konstitusi. Kendati Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, toh dirinya tak gegabah karena ada proses sidang sengketa di MK.

Dengan tenang, Presiden SBY menyatakan akan mendukung sepenuhnya presiden terpilih yang telah diputuskan oleh MK.

Meski publik cenderung mengenal Pak SBY sebagai tipikal pemimpin peragu dalam mengambil kebijakan, di ujung kepemimpinannya terlihat betul sisi negarawan beliau.

Ibarat epos, Pak SBY memberi kesan terbaik di ujung masa jabatannya. Terima kasih pak, Bapak telah mengajarkan masyarakat, termasuk elit politik di negeri tercinta ini dalam membangun fatsun politik yang sejati.   

Tidak ada komentar: