Kamis, 28 April 2016

'Nubuat' dari Maybrat

Warga Distrik Ayamaru Barat Daya, tampak sibuk. Warga kaum laki-laki memasang tenda. Sebagian lagi menata kursi plastik. Kaum perempuan, ada yang menata konsumsi, menenteng pot tanaman untuk hiasan di sekitar tenda, dan sebagian di antaranya bersolek untuk siap menari.

PLTMH Wlimakh di Ayamaru Barat Daya menerangi empat desa
Persiapan dilakukan secara sederhana. Pagi itu, Kamis (21/4/2016), warga distrik itu siap mengelar hajatan kecil.  Distrik Ayamaru Barat Daya dipilih sebagai lokasi Pencanangan Program Indonesia Terang yang digelar oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Distrik Ayamaru Barat Daya merupakan bagian dari Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat. Untuk menjangkau Maybrat, butuh waktu sekitar 4 jam—5 jam melalui perjalanan darat dari Sorong melalui ruas jalan utama Trans-Papua Barat yang hampir seluruhnya sudah beraspal mulus.

Waktu tempuh menuju Maybrat bisa dipangkas melalui jalur udara dengan menggunakan pesawat perintis dari Sorong menuju Bandara Kambuaya. Lalu, perjalanan dilanjutkan melalui darat dengan waktu tempuh sekitar 1 jam —1,5 jam menuju Distrik Ayamaru Barat Daya.

Kabupaten Maybrat yang memiliki luas 5.668 kilometer persegi terdiri 41 distrik atau setingkat kecamatan dan 259 kampung. Jumlah penduduknya kurang lebih 45.000 jiwa.

“Sejarah mencatat, salah satu menteri menerobos kampung kecil,” ujar Bupati Maybrat Karel Murafer saat menyambut Menteri ESDM Sudirman Said.

Lantas, Karel bercerita mengenai persoalan mendasar di Maybrat. Sejak kabupaten itu berdiri tujuh tahun silam, akses listrik menjadi satu tantangan utama. Sama halnya dengan daerah-daerah lain di pedalaman Papua.


Dari 41 distrik di Maybrat, baru tiga distrik saja yang memperoleh sambungan listrik. Setrum diperoleh dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang bahan bakarnya harus didatangkan dari Sorong.

Karel bercerita, tiga tahun lalu listrik di Maybrat hanya bisa dinikmati selama enam jam. Mulai pukul 18.00 WIT hingga pukul 00 WIT. Sekarang, warga sudah bisa lebih lama menikmati listrik, mulai 18.00 WIT—06.00 WIT.

“Itu pun masih mati hidup,” kata Karel.

Selain mengandalkan PLTD, perlahan Maybrat mulai membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Sudah ada tiga PLTMH yang dimiliki Maybrat yakni di Kisor, Kanisabar, dan Temsos. Khusus di Temsos ini yang dibangun atas bantuan Kementerian ESDM.

Kapasitas yang dihasilkan dari PLTMH di Temsos sebesar 2x140 Kilowatt (KW). Biaya pembangunannya, menurut Karel sekitar Rp12 miliar. PLTMH Wlimakh di Temsos untuk menerangi desa Temel, Sosisan, Soan, dan Warbo yang keempatnya ada di Distrik Ayamaru Barat Daya.

“Satu PLTMH yang sudah fungsional di Kisor dibangun oleh provinsi. Untuk skala besar di Maybrat baru yang ini [PLTMH Temsos]. Selanjutnya di Kanisabar,” kata Karel.

Karel ingin adanya bantuan dari PT Perusahaan Listrik Negara untuk memasang jaringan, maka suplai listrik dari tiga PLTMH itu mampu memenuhi kebutuhan listrik di kecamatan lain sehingga semakin banyak wilayah di Maybrat yang memperoleh akses penerangan.

Melihat potensi daerahnya, Karel ingin agar lebih banyak lagi PLTMH terbangun di Maybrat. “Kabupaten kami ini sumber air berlimpah, sumber airnya luar biasa,” tegasnya.

Soal pemeliharaan, dia memiliki tekad kuat agar putra-putri daerah di Maybrat dapat berperan serta langsung. Karel ingin supaya putra daerah yang potensial diikutsertakan dalam pelatihan, supaya mereka dapat mengelola sendiri PLTMH yang nantinya menjadi aset daerah itu.

Tekad itu sejalan dengan pesan yang disampaikan Menteri ESDM Sudirman Said. Menurutnya, untuk membangun PLTMH relatif masih cukup mudah. Namun, komitmen dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk menjaga dan menjamin pemeliharaan infrastruktur yang ada, perlu diperkuat.

Bagaimanapun, Sudirman menjelaskan bahwa listrik merupakan jalan peradaban bagi masyarakat. Dengan akses listrik yang memadai, diharapkan operator telekomunikasi mau membangun Base Transceiver Station (BTS) sehingga membuka jalur komunikasi antarmasyarakat dan antarwilayah.

“Dengan adanya jalur komunikasi, akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat menjadi semakin meningkat,” katanya.

Sudirman mengakui tantangan pemerintah, khususnya Kementerian ESDM adalah membuka akses listrik daerah pedalaman dan terpencil. Caranya dengan memanfaatkan sumber potensi yang ada.
Hingga saat ini, dia menjelaskan masih ada 2.519 desa di Indonesia yang sama sekali belum memperoleh akses listrik alias masih gelap. Dari jumlah desa itu, sebagian besar terdapat di enam provinsi yakni Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Tahun ini, Kementerian ESDM menyiapkan anggaran Rp441 miliar untuk mengoptimalkan pemanfaatan listrik dengan basis energi baru terbarukan, seperti tenaga surya maupun PLTMH.
Setidaknya, target tahun ini pemerintah bisa membangun pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dengan kapasitas hingga 9,5 Megawatt (MW).

Sudirman menyadari bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Tanah Air tergolong masih kecil, baru 6%—7%. Dalam 10 tahun mendatang, dicanangkan setidaknya penggunaan energi terbarukan mencapai 25% mengingat Indonesia memiliki beragam potensi energi.

Agar Program Indonesia Terang tak sekadar menjadi jargon, Sudirman membentuk satuan tugas (satgas) Indonesia Terang yang dipimpin oleh M. Said Didu. Said Didu yang saat ini menjadi staf khusus Menteri ESDM, merupakan mantan birokrat yang pernah menjabat sebagai sekretaris di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Said menjelaskan tugas awalnya memimpin satgas melakukan inventarisasi yang melibatkan lintas kementerian dan pemerintah daerah. “Karena banyak proyek listrik di sejumlah kementerian, di daerah juga, sehingga semua fokus,” tuturnya.

Selain itu, proyek kelistrikan yang digarap harus layak secara ekonomi sehingga pihaknya mengundang investor swasta yang berminat menggarap proyek kelistrikan. Khusus proyek listrik berbasis energi terbarukan, ada lebih dari 175 investor swasta yang sudah berminat terhadap proyek-proyek kementerian.

“Kalau proyeknya dianggap tidak layak, maka kami [pemerintah] member subsidi, insentif,” ungkap Said Didu.

Muaranya, agar semua proyek kelistrikan yang menjadi bagian dari rencana penyediaan 35.000 MW proyek kelistrikan benar-benar selaras dengan melibatkan peran pemerintah dan swasta. Selain itu, keterlibatan pemerintah daerah menjadi kunci utama.

Seperti kata Sudirman Said, membangun Indonesia secara merata tidak bisa secara sentralistik yang artinya hanya dipikir dari Jakarta saja.

Semoga, nubuat atau pesan dari Maybrat ini membawa semangat bagi seluruh komponen masyarakat dalam menyediakan akses listrik dengan memanfaatkan potensi yang ada.

Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi Senin 25 April 2016




     

Tidak ada komentar: