Jumat, 12 September 2014

Polemik RUU Pilkada, Salah Parpol, Salah Rakyat, Salah Gue?

rumahpemilu.org
Saya teringat ketika Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013 Bibit Waluyo mencak-mencak dalam satu rapat.

Kemarahan Pak Bibit dipicu sejumlah bupati/wali kota yang tak hadir dalam rapat yang dipimpinnya.

Rapat itu bertujuan sebagai koordinasi antarwilayah di 35 kabupaten/kota di Jateng. Namun ada pemimpin daerah di kabupaten/kota yang 'hanya' mengirim pejabat sekretaris daerah (Sekda).

Soal koordinasi antarkabupaten/kota, merupakan penyakit lama di era otonomi daerah. Apalagi kalau gubernur yang menjabat, tak lahir dari partai yang sama.

Maka, kepala daerah di tingkat kabupaten/kota seolah tak mau mendengar suara pemimpin yang secara konstitusi berada di tingkat atasnya itu. Ini menjadi persoalan pelik, bahkan menjadi rahasia umum.

Menilik kejadian yang sudah sekian tahun lalu, bagi saya menarik jika dikaitkan dengan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah.



Pembahasan RUU Pilkada itu menjadi topik panas terkini. Ada yang menyangkutpautkan pembahasan RUU itu merupakan bagian dari upaya 'balas dendam' kubu koalisi Merah Putih yang dipimpin Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pascakekalahan dalam pemilihan presiden Juli 2014.

Ada pula yang berpendapat demokrasi Indonesia yang sudah dibangun terancam ambruk kembali.

Koalisi Merah Putih mendukung dilakukannya revisi UU Pilkada dengan mengembalikan fungsi DPRD sebagai lembaga yang berhak memilih kepala daerah.

Melihat RUU yang terpampang di situs resmi dpr.go.id, jelas terlihat bahwa usulan pemilihan kepala daerah melalui jalur DPRD hanya dilakukan di tingkat provinsi atau memilih gubernur.

Bagian kesatu pasal ke-2 dari RUU itu menyebut bahwa gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Adapun untuk pemilihan bupati/wali kota, bagian pertama pasal ke-41 RUU itu menyatakan pemilihan bupati/wali kota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Dulu, era orde baru di bawah Presiden Soeharto, gubernur, bupati/wali kota merupakan 'kiriman' dari pemerintah pusat. DPRD hanya bertugas mengesahkan calon yang diajukan pemerintah pusat.

Sejak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, masyarakat berduyun-duyun datang ke tempat pemungutan suara (TPS), kualitas demokrasi memang tidak serta merta membaik.

Partai politik yang diharapkan menjadi lokomotif perubahan, gagal memberikan pendidikan politik kepada konstituen. Seperti biasa, masyarakat hanya merasakan kehadiran parpol setiap lima tahun sekali.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah selama ini, parpol tak ubahnya lembaga stempel yang memberi restu kepada calon yang akan bertarung di pilkada.

Jika belakangan muncul sosok seperti Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, maupun sosok kepala daerah yang berjiwa ngayomi, tak sepenunhya mencerminkan bahwa kaderisasi pemimpin di tingkat parpol berjalan baik.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berdalih bahwa pilkada langsung melahirkan fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, termasuk memunculkan banyaknya tindak kekerasan.

Kemendagri mencatat ada 3.500 kasus kisruh pilkada dan 50 orang meninggal dunia akibat hajatan itu.

Apakah ini imbas dari sistem demokrasi kita yang kebablasan? Tidak juga.

Lagi-lagi, parpol yang terlibat dalam proses membangun demokrasi gagal memberikan pendidikan politiknya. Elit parpol 'bekerja' hanya untuk kepentingan kelompoknya.

Elit parpol tidak mampu mengirim pelajaran bahwa politik bukan sekedar urusan kekuasaan semata. Politik merupakan dinamika yang harus diterima dengan akal sehat, apapun hasilnya baik menang atau kalah.

Kita baru saja disuguhi drama pemilihan presiden yang elitnya hanya berucap kecap soal 'kelapangan hati menerima hasil baik menang-kalah. Dari balik itu, kedengkian terus ditebar bahkan jika perlu menjegal.

Maka, bukan soal urusan di tingkat mana -rakyat atau perwakilan- yang memilih pemimpinnya. Kedewasaan rakyat dan pengendalian diri 'syahwat' politik para elit-lah yang perlu ditata ulang.

Pilkada melalui jalur DPRD pun bukan berarti mampu memangkas rantai dinasti di daerah.

Mau kepala daerah dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung ataupun jalur DPRD, selama budaya berpolitik tidak pernah diubah, yang terjadi hanya saling jegal.

Kita tentu juga tak mau hanya menjadi bantalan politik para elit parpol yang selalu mengatasnamakan membawa suara rakyat. Jangan sampai, demokrasi di negeri ini 'kerdil' lagi.   

Tidak ada komentar: