Minggu, 01 Juni 2008

Pelaku Industri....Teriaklah Lantang...!!!!

Pemerintah kembali menetapkan harga bahan bakar untuk sektor industri mengalami kenaikan antara 7,3% hingga 14,6% mulai awal bulan Juni ini.

Sebelumnya pemerintah juga mengumumkan kenaikan harga BBM non industri sebesar 28,7% dua pekan lalu yang hingga kini gejolaknya masih dirasakan, bahkan ditentang oleh berbagai kalangan mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat.

Kenaikan harga BBM bagi kalangan industri kali ini benar-benar pukulan telak. Belum pulih kesadaran mereka dengan melambungnya harga bahan baku serta pemberlakuan sistem intensifikasi/disintensifikasi penggunaan listrik, mereka dihantam lagi dengan kenaikan bahan bakar.

Imbas kenaikan bahan bakar non industri secara serta merta berpengaruh pada melonjaknya ongkos transportasi dan kemungkinan tuntutan kenaikan tunjangan makan dan transport karyawan.

Sepertinya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terlalu lunak menyikapi hal ini. Mereka juga seolah kehilangan akal untuk menolak kebijakan pemerintah yang sebenarnya secara pelan mematikan pelaku industri.

Di Surakarta, Ketua Apindo Surakarta Baningsih Bradach Tedjokartono menyikapi dampak kenaikan harga bahan bakar dengan sikap yang masih terlalu manis.

Padahal, pengusaha secara terang-terangan telah disudutkan oleh manuver-manuver pemerintah yang sangat tidak berpihak pada pelaku industri.

Pemerintah boleh berdalih kebijakan soal BBM untuk menyelamatkan APBN negara dari neraca defisit, tetapi secara tidak langsung pemerintah juga menyulut api goyahnya roda industri di tanah air.

Tidak mengherankan jika berbagai perusahaan yang dulunya pernah berkiprah di Indonesia, memilih mengalihkan investasinya ke negara lain.

Tidak jelasnya kepastian hukum, tipisnya batas keamanan serta tidak kunjung berakhirnya gejolak ekonomi memaksa investor cukup enggan melirik pasar dalam negeri.

Lagi-lagi pemerintah seolah "buta hati", jika pemerintah yakin pelaku industri di tanah air masih mampu mensiasati kondisi berbagai kenaikan ini melalui berbagai efisiensi misalnya, nasib ribuan buruh di tanah air terancam dikandangkan.

Hal ini yang tidak pernah dilihat dengan kacamata bening. Industrinya memang tetap bertahan, tetapi nasib ribuan karyawannya diujung tanduk. Padahal, sejarah pemutusan hubungan kerja bagi kaum buruh di republik ini belum sepenuhnya memperhatikan hak-hak kaum buruh.

Secara pribadi, saya bukanlah orang yang anti pemerintah. Tetapi, berbagai lelucon yang ditawarkan pemerintah akhir-akhir ini, memaksa untuk terus menerus mengkritik kebijakan pemerintah itu.

Pelaku industri tanah air, cukuplah bersabar. Kini saatnya berteriak....!!!

Tidak ada komentar: