Selasa, 23 Desember 2008

Kampoeng Batik Laweyan di Tengah Meretas Kejayaan Masa Lalu


B
erbelanja dan berwisata. Itulah eksotika yang coba ditawarkan Kampoeng Batik Laweyan Kota Solo.

Sesaat memasuki kawasan ini, pandangan kita langsung tersita oleh bangunan kuno yang diantaranya sudah lapuk termakan jaman. Terbengkalai namun tetap mempesona.


Dari aksen yang ditampilkan, lahir kesan repertoar yang menyiratkan kawasan tersebut pernah memiliki rentetan kejayaan dari sebuah sejarah.


Inilah sisi lain Solo. Ketika modernitas selangkah menapak, sebuah sentra industri batik yang pernah berjaya, kini perlahan tumbuh mengiringi jejak langkah peradaban kota.

Kampung Batik Laweyan, dari sebuah cerita yang terpetik pernah menyimpan sejarah kejayaan saudagar batik lewat KH. Samanhoedi. Untuk menghormati perannya dalam sejarah bangsa, dikawasan itu berdiri Museum Samanhoedi yang didirikan Yayasan Warna Warni milik Ny. Krisnina Akbar Tandjung.

Komunitas ini sendiri lahir pada 25 September 2004. Berangkat dari kesadaran sejumlah "saudagar muda" batik di kawasan itu untuk menawarkan sebuah konsep berbeda, memadukan konsep belanja dan wisata.

Perlahan dengan kekuatan yang ada, sejumlah pengusaha batik mulai tumbuh kesadaran menjadikan kawasan itu sebagai sebuah aset pertumbuhan ekonomi kreatif.


Menyusuri gang di kawasan tersebut, sejumlah tanda petunjuk terlihat setia mengiring langkah pengunjung. Entah sekedar menikmati romantisme bangunan, melihat-lihat produk batik sampai melongok proses produksi batik.

Anda pun diperkenankan untuk belajar membuat batik di lokasi ini, belajar memegang canting (alat untuk membatik) dan menggoreskannya dalam kain yang siap dijadikan bahan batik.

Menurut Ketua Masyarakat Kampoeng Wisata Batik Laweyan Alpha Fabela P, konsep kampung wisata ini akan terus dibenahi dengan menawarkan berbagai romantisme.

"Beberapa rumah kuno akan direnovasi, akan dijadikan semacam kafe atau lounge. Semuanya dengan nuansa kental batik," ujarnya saat penulis berkesempatan mengunjungi kawasan ini.


Laweyan sekarang, dengan 2.500 jiwa warga yang berada disekitarnya tengah menata kembali puing-puing kehancuran. Membangun eksistensi sebagai sebuah kawasan yang akan memberikan nilai ekonomi, bukan hanya bagi Solo tapi bagi warga disekitarnya.

Sejarah tidak akan pernah usang, ketika sekelompok masyarakat tetap mampu memaknai dari lembar sejarah yang mungkin telah menjadi sekam.

Dari kawasan inilah, Laweyan ingin bertutur "Lewat batik ada sebuah sebuah cerita, cerita tentang kejayaan masa lalu yang pernah merekah. Dari sini pernah lahir urat nadi ekonomi untuk sebuah bangsa,"







Sabtu, 20 Desember 2008

Laskar NgeLAngi, Gado-Gado Menyegarkan

Demam Laskar Pelangi. Buku pertama dari tetralogi karya Andrea Hirata itu memang cukup menyengat. Tanpa menisbikan karya sastra lain yang hadir, tapi boleh dibilang novel yang telah diadopsi ke layar lebar ini paling laris manis sepanjang tahun ini.


Begitu fenomenalnya novel Laskar Pelangi dengan polesan latar belakang kehidupan di Pulau Belitung, yang eksotik tidak mengherankan jika karya itu coba diolah ke dalam bentuk seni pertujukan lainnya.

Jika saja, Andrea Hirata hadir di Teater Arena Taman Budaya Surakarta (TBS) Jumat malam (19 Desember 2008), entah sekedar senyum kecut atau riang tawa gembira sepanjang acara, bakalan muncul dari bibirnya.

Cerita novel Laskar Pelangi yang sarat dengan pesan persahabatan serta riak perjuangan tokoh-tokoh cerita didalamnya yang haus akan ilmu pengetahuan tersebut, dibawa dengan alur bergenre drama parodi.

Inilah kekuatan cerita parodi. Mengusung tuntas judul plesetan "Laskar NgeLAngi" tetapi cerita yang mengalir didalamnya mentransfer secara habis-habisan lakon Sam Pek Eng Tay.


Lebih menggelikan lagi, satu tokoh dalam cerita itu menampilkan sosok Syeh Puji-tokoh asal Ambarawa Semarang yang sempat mencuat saat menikahi gadis berusia 12 tahun.

Sehingga, untuk merunut cerita sesungguhnya, parodi ini mengolah semua kemasan sesuai aslinya maupun dibumbui kejadian sehari-hari dengan gaya yang ringan dan khas.

Tak heran, untuk mewakili aroma Sam Pek Eng Tay-nya, pernak-pernik cerita yang dominan muncul didalamnya kental dengan aroma Tiongkok. Mulai dari tata panggung sampai kostum pemainnya.

Soal bahasa, jangan kuatir dengan gaya sajian Paroden Basah. Memaksakan diri dengan bahasa Mandarin, pastinya mereka pun tak sanggup, alhasil dialog mandarin dengan sedikit aksen Indonesia tetapi lebih kental Jawa ngoko-nya itulah yang memancing hadirnya tawa sekitar 300 penonton.

Tengok saja personilnya, namanya cukup Njawa Hollywood diantaranya Mamang Tse, Leonarto, Budi Kocrit, Ira Irawan dan Angga Radio Rusak.

Seperti dugaan saya sebelumnya, pertunjukan berdurasi dua jam itu akan mampu menyedot adrenalin tawa, seperti kemasan cerita Paroden Basah sebelumnya.

Ketika pertunjukan itu usai, penonton pun sudah tak peduli alur cerita yang mengalir dan hubungan antara Laskar Pelangi-Sam Pek Eng Tay. Mereka hanya hadir demi memenuhi keceriaan, peduli pada kepuasan, tertawa lepas dan sesaat menyeberang dari rutinitas keseharian.






Sabtu, 13 Desember 2008

Goyang Gergaji "Barisan Sakit Hati"

Puluhan massa yang mengatasnamakan korban bencana banjir tahun 2007, tiba-tiba menduduki halaman Balaikota Solo, Kamis siang lalu.

Mereka menuntut Pemerintah Kota Solo segera mencairkan bantuan bencana senilai Rp5 miliar yang pernah diserahkan kepada pemerintah setempat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Beberapa peserta aksi itu meneriakan, bantuan itu semestinya menjadi hak mereka, hak bagi korban bencana banjir.


Para demosntran mendesak dapat menemui secara langsung Walikota Solo Joko Widodo maupun Wakil Walikota Hady Rudiatmo.

Saat pelaksana tugas (Plt) Sekertaris Daerah Pemkot Solo Supradi Kartamenawi menemui para pendemo, mereka enggan menyampaikan permasalahan itu kepada Sekda dan tetap menuntut dua pejabat teras Kota Solo itu langsung turun tangan.

Terlepas dari tarik ulur negoasiasi itu, sedikit menarik permasalahan ke belakang, bantuan yang diberikan oleh presiden saat itu sebenarnya bukanlah bantuan murni dari institusi kepresidenan.

Bantuan yang diserahkan ke pemerintah daerah yang terkena bencana, yakni Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta, merupakan bantuan dari Departemen Sosial yang tidak seluruhnya dalam bentuk uang.

Bantuan tersebut diantaranya berupa bahan makanan dan peralatan evakuasi lainnya. Dan sepengatahuan penulis, tidak ada janji apapun yang dilontarkan oleh pemerintah memberikan bantuan uang kepada korban bencana dalam bentuk tunai.

Sehingga, tuntutan warga bantaran yang terlanda bencana banjir 2007 sebenarnya cukup salah alamat.

Satu hal yang sempat membuat penulis bertanya, mengapa aksi yang mereka gelar baru dilakukan saat ini, ketika Pemkot Solo bersama warga di sekitar bantaran gencar mensosialisasikan upaya relokasi.

Kalau memang Pemkot Solo pernah menjanjikan bantuan bagi korban bencana, entah dalam bentuk uang maupun santunan lainnya, semestinya mereka mempertanyakan itu sejak awal atau pertengahan tahun 2008.

Keanehan ini membawa satu kesimpulan dibenak penulis, bahwa aksi jalanan yang mereka gelar itu (sangat memungkinkan) ditopang oleh "barisan sakit hati" yang tengah merancang gerakan penggembosan terhadap duet Jokowi-Rudi.

Gerakan ini memang tengah gencar menyebarkan isu ke tengah publik dengan mengatasnamakan keberpihakan kepada kultur budaya Solo.

Perilaku pembangunan yang saat ini gencar dilakukan di Solo, diantaranya pembangunan hotel, mall dan apartemen, dinailai tidak senafas dengan citra Solo sebagai kota budaya yang bermartabat.

Kini, tinggal masyarakat menilai sendiri karakter pemimpin kotanya. Jangan sampai masyarakat dininabobokan oleh isu "tidak bermutu" yang ingin menggoyang anggun dan asrinya kedamaian di kota bengawan.






Minggu, 07 Desember 2008

Secarik Kata dari Yogya

Gema takbir berkumandang dari kutub langit, terdengar begitu nyaring mengiringi gemercik gerimis yang membasahi Kota Yogyakarta sepanjang Minggu 7 Desember 2008.

Sekelompok masyarakat, membelah lajur kota itu, berjalan beriring dengan meneriakan takbir kemenangan. Suara yang mereka perdengarkan, menusuk hingga sekat hotel Indraloka Yogyakarta, tempat kami menginap.

Malam itu, masyarakat muslim di penjuru dunia merayakan hari raya kurban atau yang biasa dikenal dengan Hari Raya Idul Adha.

Selamat Hari Raya Idul Adha kepada saudara, kawan dan handai taulan semuanya.


Sengaja, enam orang penggemar fotografi dari Semarang, Solo dan Yogyakarta, sejak Minggu malam hingga Senin 8 Desember 2008, berkumpul. Menunggu datangnya pagi, saat ratusan masyarakat muslim di sekitar kawasan Parangkusumo Yogyakarta melaksanakan Sholat Ied.

Hamparan pasir pantai yang membentang luas menjadi warna beda yang disajikan masyarakat di sekitar kawasan itu.

Eksotik, cantik dan mempesona...ketika ratusan orang tersebut berduyun-duyun membelah pagi di Parangkusumo. Nuansa yang lahir serasa di padang pasir, jauh dibelahan Timur Tengah.

Namun, cuaca yang tidak bersahabat, menjadikan mimpi kami menyaksikan dan mengabadikan tradisi Sholat Ied dihamparan padang pasir Parangkusumo itu buyar.

Sempat beberapa warga mendatangi lokasi tersebut, sebelum akhirnya menyerah pada guyuran hujan. Dan, penggemar fotografi yang sejak pagi menantikan momen tersebut, harus menyerah pula pada kenyataan.

Kawasan Parangkusumo seolah melahirkan romantisme tersendiri bagi penggemar fotografi. Kontur tanah dengan bulir-bulir pasir yang dibawa ombak dan dihempaskan oleh angin, menjadikan kawasan tersebut serasa memiliki energi berbeda.


Departemen Agama setempat menjadikan lokasi di sekitar kawasan itu sebagai arena untuk bermanasik haji.


Beberapa fasilitas dibangun di kawasan yang memang cukup berdekatan dengan Pantai Parangtritis Yogyakarta ini.


Mungkin memang nasib yang harus membawa kami, menyusuri kawasan ini dan berjumpa lagi dengan pemadangan indah di tempat itu tahun nanti.